Minggu, 23 Juni 2013


SEJARAH
INFINITY






 











Oleh:

KELOMPOK I


AHMAD RUSTAM


PROGRAM PASCA SARJANA
PENDIDIKAN MATEMATIKA
UNVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012

Sejarah Infinity
Cabang pengkajian yang dikenal dengan sejarah yaitu penyelidikan tentang asal-usul (keturunan) silsilah suatu kejadian dan peristiwa yg benar-benar terjadi pd masa lampau. Infinity mengandung makna sesuatu yang tanpa batas. Kata infinity dalam bahasa Latin diterjemahkan sebagai “ketakhinggaan”, sedangkan dalam bahsa Yunani diterjemahkan sebagai tak berujung.
Seiring dengan perkembangan pemikiran manusia dalam perkembangan zaman, pada konsep berhitung. Para ilmuan berusaha terus mencari tidak hanya pada bilangan terhingga melaingkan juga bilangan yang tak terhingga (ketakhinggaan).
Pada zaman Eropa kuno dan lama, orang-orang Eropa mengkaji ketakhinggaan mengaitkan dengan keagamaan. Sedangkan pada orang-orang Yunani Kuno dan lama mengkaji mengaitkan dengan alam. Pada masa itu mereka membahas ketakhinggaan dengan bebas.
Zaman orang-orang Yunani Kuno mereka mengakaji bukan hanya bilangan ketiadaan atau nol tetapi juga membahas hakekat sesungguhnya bilangan renik (kecil) yang terus mendekati ketiadaan dan jika digandakan terus mendekati ketakhinggaan. Pembahasan bilangan itu terus dilanjutkan sehingga pada akhirnya zaman yunani Kuno dan lama muncul 4 paradoks Zeno yang baru terjawab setelah 2000 tahun kemudian yaitu abad ke-17.
Seiring dengan penyelidikan ketakhinggaan, ternyata orang-orang Eropa Kuno dan lama menerima pemikiran ketakhinggaann dari orang-orang Yunani. Akan tetapi pada hakekatnya pemikiran-pemikiran itu diterima setelah zaman Plato dan Aristoteles dan mereka menerima bukan pada saat pengertian berkembang dengan baik.
Origenes (185-254) turut menolak kepribadian tak hingga yang sesungguhnya hal ini sejalan dengan paham Aristoteles yang menyatakan bahwa tak hingga dalam pengertian infinitum actum non datum yaitu tak hingga tidak ada dalam kenyataan sesungguhnya. Hampir seabad kemudian St. Agustinus (354-430) dalam De libero arbitrio menyatakan bahwa bilangan disebut sebanyak kali bilangan itu memiliki satu. Bila suatu bilanngan memiliki dua kali satu maka disebut  dua; selanjutnya tiga kali satu disebut tiga; ... begitu seterusnya, sehingga tak seorang pun yang dapat mencapai semua bilangan, karena “bilangan tak terbatas”.
Pada abad ke-7 muncul seorang matematikawan India yang memperkenalkan nol dalam sistem bilangan mereka. Mereka berpikir bagaimana membuat nol dalam operasi aritmatika. Baskara II menyatakan bahwa nol dikalikan dengan infinite hasilnya sama dengan setiap bilangan n, jadi semua bilangan adalah sama. Selanjutnya pada abad ke-9 Johannes Scotus Erigena  menyatakan dalam Patrologia latina CXXII bahwa berhitung mulai dengan kesatuan dan daripadanya semua bilangan berkembang serta kedalamnya mereka berubah. Selain itu ilmu ukur mulai dengan titik dan daripadanya semua bentuk berkembang serta kedalamnya mereka berubah. Pada pengertian tersebut bilangan itu dapat saja berkembang samapi tak  hingga.
Pembahasan bilangan tak hingga oleh Robert Grosseteste (1169-1253) memulainya pada pembahasan cahaya dalam buku tentang “Cahaya atau Permulaan Bentuk”. Menyatakan bentuk yang pertama kali yang diciptakan oleh Zat pertama yaitu cahaya. Dari pembahasan ini dikaitkan dengan pembahasan bilangan yang selanjutnya kebahasan keagamaan.
Argumen Grosseteste bahwa “jumlah tak hingga bilangan berhubungan dengan suatu jumlah (kuantitas) tak hingga dalam setiap perbandingan...”. Dan selanjutnya ia menyatakan bahwa beberapa tak hingga adalah lebih besar daripada tak hingga lainnya, dan beberapa lagi adalah lebih kecil.
Grosseteste menganggap bahwa bilangan tak hingga memiliki besaran yang berbeda. Bahkan ia menyatakan bahwa perkalian sesuatu sederhana sampai tah hingga kali harus menghasilkan sesuatu jumlah yang terhingga.
St. Thomas Aquinas (1225-1274) mempunyai pengertian tersendiri tentang tak terhingga serta menerimah paham Aristoteles.  St. Thomas Aquinas menyatakan bahwa kemampuan di samping sesungguhnya. Selanjutnya satu-satunya yang tidak mengandung hanya sekedar kemampuan tetapi secara lengkap merupakan keperibadian tak hingga yang murni sesungguhnya adalah Tuhan.
St. Thomas Aquinas kita dapat menganggap bahwa:
“Keserbaterusan (continuum) sebagai berkemampuan untuk terbagi ad infinitum. Karena tak hingga sesungguhnya tidak ada maka tiada garis yang terkecil; titik bukan garis yang terkecil melainkan hanya merupakan bagian dari garis karena titik tidak terbagi. Dari ketidakterbagian tidak dapat muncul keserbaterusan (kekontinuan). Suatu titik hanya dapat melahirkan suatu garis melalui gerak”.
Kemudian pada abad ke-15 Nicholas Krebs atau Nicholas dari Cusa dalam bukunya De docta ignorantia menyatakan bahwa tak hingga sebagai tak hingga saja tak diketahui karena tak hingga ada di atas semua perbandingan sehingga tak hingga sudah menunjukkan pembedaan dengan lainnya dan demikian pula tak hingga tak dapat dipahami tanpa bilangan.

Nicholas dari Cusa mengartikan juga tak hingga adalah suatu maksimum dan pada tingkatan itu tak ada lagi tingkatan di atas dan tidak pula sama dengan, sehingga maksimum sesungguhnya lebih besar dari daya kita untuk memahaminya. Begitu juga halnya minimum tak ada yang lebih kecil dari minimum sehingga keduanya memiliki sifat yang sama atau maksimum dapat dipadankan dengan minimum. Misalkan maksimum itu diterapkan pada keliling lingkaran maka minimum itu pada pusat lingkaran, maka pada tak hingga keliling dan pusat lingkaran itu sama. Dari pengertian tersebut Nicholas dari Cusa mengemukakan bahwa alam semesta itu tidak berpusat di bumi.
Setelah setengah abad kemudian ditemukan Giordano Bruno (1548-1600) dalam bukunya De l’infinito, universo, e mondi Bruno menyatakan bahwa alam semesta adalah tak hingga. Bruno membedakan dua macam tak hingga pada alam semesta, yakni tak hingga dalam ukuran dan tak hingga dalam banyaknya dunia-dunia. Dan Bruno membedakan lagi bahwa alam semesta tak hingga total dan tak hingga tidak total, hal ini timbul karena masalah keagamaan.
Pengertian tak hingga total adalah bagian daripadanya adalah masing-masing tak hingga dan satu-satunya tak hingga total adalah Tuhan. Sedangkan tak hingga tidak total adalah masing-masing yang kita pilih daripadanya adalah bersifat tak hingga.
Pada awal abad ke-17 Rene Descartes (1596-1650) seorang ilmuan yang memecahkan paradoks Zeno, setelah 20 abad berlalu, yakni dapat menjelaskan secara memuaskan dengan menggunakan limit jumlah deret tak hingga. Hanya saja pada waktu itu bilangan tak hingga belum terpecahkan, melaingkan ditampilkan dalam filsafat. Sedangkan Imannuel kant mempertentangkan dalam ruang dan waktu, ia menyatakan bahwa ruang dan waktu terhingga dan juga tak hingga. Hal ini berkaitan alam pikiran Kant yakin bahwa “sesuatu di dalam sesuatu itu sendiri” yang terletak “di luar” pemikiran manusia.
Pada abad ke-18 banyak pula ilmua dari Berlin, diantaranya Leopold Kronecker (1823-1891), Ernst Eduard Kummer (1810-1893), Richard Dedekind (1823-1916), Georg Probenius  (1849-1917), Wilhelm Weber dan Georg Cantor (1845-1918) mereka membentuk kelompok yang dikenal dengan perguruan Berlin. Mereka berkesimpulan bahwa pengetatan dasar matematika harus dilakukan melalui pengetatan bilangan sedangkan, sedangkan pengetatan pengertian bilangan harus dimulai dari pengetatan pengertian bilangan asli, karena mereka beranggapan bahwa matematika didasarkan atas bilangan dan semua bilangan didasarkan atas bilangan asli.

EMPAT PARADOKS ZENO


EMPAT PARADOKS ZENO

Pada zaman dahulu yang diprekirakan tahun (490-430 s.M), berdasarkan sejarah ditemukan beberapa paradoks tepatnya di Elea oleh seorang Filsuf yang dikenal sampai sekarang yaitu Zeno. Zeno seorang filsuf dari mashab Eleatik dan gurunya yang bernama Parmenides. Mereka menganut paham bahwa semua gerak dan perubahan di dunia bersifat semu. Selain itu juga menyatakan bahwa alam semesta aslinya tunggal, diam dan seragam.
Banyak karya yang dilontarkan oleh Zeno akan tetapi menurut penelusuran sejarah hanya beberapa yang sempat diabadikan oleh filsuf Aristoteles. Diantaranya Empat paradoks karya Zeno paling terkenal, dan membingungkan banyak filsuf setelah zamannya. beberapa abad kemudian, akhirnya empat paradoks utama Zeno barulah terpecahkan oleh para ahli matematika pada abad ke-17.
Dari catatan Aristoteles tentang Empat Paradoks Zeno1 yang terkenal yaitu sebagai berikut:
1.      Paradoks Dikotomi
“Sebuah benda yang bergerak tidak akan pernah mencapai tujuan. Pertama-tama dia harus menempuh perjalanan setengah jarak. Lalu setelah itu dia mesti menempuh seperempat, seperdelapan, seperenambelas, sepertigapuluhdua … Sedemikian hingga jumlah perjalanannya menjadi tak-hingga.
Oleh karena mustahil melakukan perjalanan sebanyak tak-hingga, maka benda tidak akan dapat sampai tujuan.”
2.      Paradoks Achilles dan Kura-kura
“Achilles dan Kura-kura melakukan lomba lari, meskipun begitu, kura-kura diizinkan start lebih awal.
Agar dapat menyamai kura-kura, Achilles menetapkan sasaran ke tempat kura-kura saat ini berdiri.
Akan tetapi, tiap kali Achilles bergerak maju, kura-kura juga bergerak maju. Ketika Achilles sampai di tempat kura-kura, kura-kura sudah berjalan sedikit ke depan.
Lalu Achilles mengejar posisi kura-kura yang sekarang. Akan tetapi setibanya di sana, kura-kura juga sudah maju sedikit lagi.
Lalu Achilles mengejar posisi kura-kura yang sekarang. Akan tetapi setibanya di sana, kura-kura juga sudah maju sedikit lagi. Demikian seterusnya ad infinitum.
Jadi kesimpulannya: mustahil bagi Achilles untuk bisa menyamai kura-kura dalam balapan.”

3.      Paradoks Anak Panah
“Misalnya kita membagi waktu sebagai “deretan masa-kini”. Kemudian kita lepaskan anak panah. Di setiap “masa-kini” anak panah menduduki posisi tertentu di udara.
Oleh karena itu anak panah dapat dikatakan diam sepanjang waktu.”
4.      Paradoks Stadion
“Terdapat tiga buah barisan benda A, B, dan C di lapangan tengah stadion.
Barisan A terletak diam di tengah lapangan. Sementara B dan C masing-masing terletak di ujung kiri dan kanan A.
Kemudian B dan C bergerak saling mendekati dengan kecepatan yang sama (hendak bersejajar dengan barisan A).
Description: zeno-stadium
Antara “Sebelum” dan “Sesudah”, titik C paling kiri melewati dua buah B, tetapi cuma satu buah A.
Berarti waktu C untuk melewati B = setengah waktu untuk melewati A. Padahal A dan B adalah unit yang identik!
Mungkinkah setengah waktu = satu waktu?”

Pembahasan paradoks zeno:
Ada dua tema yang dominan dalam Paradoks Zeno, yakni gerak dan ketakhinggaan. Sebagaimana sudah diceritakan di awal, Zeno menganggap bahwa perubahan di dunia bersifat semu. Pendapat itu kemudian tercermin lewat empat buah paradoks di atas.
Dalam paradoks pertama (“dikotomi”), Zeno menyampaikan bahwa gerak benda antara dua titik bersifat mustahil — atau minimal, mengandung aspek filsafat yang misterius. Ada baiknya kalau kita simak lagi paradoksnya di bawah ini.
Description: zeno-dikotomi
Setengah, seperempat, seperdelapan, seperenambelas….
Dalam grafik di atas digambarkan bagaimana terdapat banyak segmen perjalanan antara dua titik (0-100). Yang mengganggu Zeno di sini bukan geraknya, melainkan, bagaimana ketakhinggaan bisa begitu merepotkan. Dalam contoh di atas Zeno mengetengahkan bahwa — karena jumlah segmen yang harus ditempuh sejumlah tak-hingga — maka gerak dari satu tempat ke tempat lain adalah mustahil.
Ibaratnya begini. Apabila orang hendak berjalan menuju garis finis, maka lintasan jalannya dapat dibagi jadi bagian kecil-kecil. Kemudian supaya bisa lewat, maka bagian kecil-kecil itu harus dijalani satu per satu. Sedemikian hingga pada akhirnya orang sampai garis finis.
Akan tetapi problemnya adalah bahwa yang kecil-kecil itu jumlahnya amat banyak. Malah menurut Zeno: jumlahnya mencapai tak-hingga.
Jadi sekarang sudut pandangnya berubah. Kita tahu orang bisa menempuh jarak kecil-kecil, tetapi, bisakah orang menempuh jarak kecil-kecil itu tak berhingga kali
Nah di sini akal mengatakan bahwa itu mustahil. Zeno sendiri akhirnya menilai bahwa gerak antara dua titik itu adalah semu. Biarpun di dunia nyata orang melakukannya dengan mudah, bukan tak mungkin bahwa itu sebenarnya hanya ilusi. 
Hal yang sama juga berlaku di paradoks kedua “Achilles dan Kura-kura”. Lewat paradoks ini Zeno menyatakan bahwa “mustahil bagi orang yang telat balapan untuk dapat menyamai lawannya”.
Alasannya? Karena terdapat sejumlah kemajuan kecil-kecil yang tak mungkin dikejar. Setiap Achilles sampai di tempat kura-kura, kura-kura selalu sudah melajusedikit lagi di depan. Pada akhirnya Achilles digambarkan Zeno sebagai “tak akan mampu melewati kura-kura”.
Description: achilles-vs-kura-kura
(keterangan: t0 melambangkan situasi pada saat pertama; t1 melambangkan situasi pada saat kedua; dan seterusnya)

Problemnya tentu saja bahwa di dunia nyata hal itu tidak berlaku, makanya disebut paradoks. Siapapun yang pernah nonton balap tahu hal ini. Pembalap yang startbelakangan selalu bisa menyalip lawan di depannya. Memang kadang agak sulit melakukannya, tetapi bukan tidak mungkin.
Sebagaimana halnya dengan paradoks pertama, yang hendak disampaikan Zeno di sini adalah bagaimana konsep gerak jadi semu kalau dianalisis secara tak-hingga. 

Sementara itu, lain lagi dengan paradoks ketiga tentang anak panah. Berbeda dengan sebelumnya yang ini mencoba menunjukkan bahwa “gerak” dan “diam” itu sebenarnya tak dapat dipisahkan.
Description: zeno-anak-panah
Zeno melihat waktu sebagai rangkaian “masa-kini” yang berkesinambungan. Oleh karena itu sebuah anak panah yang meluncur memiliki berbagai versi “masa-kini” di perjalanannya. Ada “masa-kini” sesaat sesudah lepas dari busur; “masa-kini” setelah beberapa detik di angkasa, dan seterusnya.
Problemnya adalah bahwa di tiap “masa-kini” itu anak panah mendiami tempat yang tetap. Persis seperti kalau direkam kamera video. Di setiap frame tampak berbagai kondisi anak panah. Semua tampak diam. Akan tetapi kalau videonya diputar, barulah terkesan bahwa anak panah itu sebenarnya bergerak.
Jadi di sini ada problem: bahwa anak panah itu “diam” sekaligus “bergerak”. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah gerak itu?
Singkat cerita, Zeno menilai bahwa paradoks anak panah menunjukkan kebenaran filsafatnya. Bahwa gerak itu aslinya semu — suatu benda terkesan bergerak cuma oleh persepsi manusia saja.

Paradoks terakhir (“Paradoks Stadion”) adalah yang paling sederhana dan kurang bermutu dibandingkan dengan yang lain. Meskipun begitu tetap ada baiknya kalau dianalisis barang sedikit. So here goes.
Dalam Paradoks Stadion, Zeno mengetengahkan bahwa “dua benda yang saling mendekati butuh waktu lebih singkat untuk bisa bersejajar”.
Description: zeno-stadium
Sebenarnya ini adalah penerapan dari relativitas Galileo yang diajarkan di bangku SMA kita dulu. Ada yang masih ingat ceritanya? Kalau dua benda bergerak, yang satu bisa dianggap diam, sementara yang satu lagi kecepatannya dijumlahkan. 

Nah demikian juga dengan kasus Paradoks Stadion di atas. Ketika B dan C sama-sama bergerak, maka jumlah waktu sebelum mereka saling bertemu juga akan mengecil, sebab kecepatannya saling menjumlahkan. Sementara A (yang tidak bergerak) tidak mendapat keuntungan tersebut.

Penutup: Infinity in finity
Sebagaimana sudah disebut beberapa kali di atas, Zeno adalah filsuf yang tidak percaya pada gerak dan perubahan. Lewat empat paradoks di atas ia ingin memastikan hakikat kenyataan sebenarnya. Sebagai seorang Eleatik Zeno berpendapat bahwa semua gerak benda itu semu; oleh karena itu, untuk membuktikan keyakinannya, ia kemudian merancang serangkaian paradoks.
Tentunya kemudian timbul pertanyaan, apakah pendapat Zeno itu benar atau salah? Meskipun begitu soal itu tak akan kita bahas di sini. Biarlah diserahkan pada yang ahli filsafat sahaja. 

Saya sendiri amat tertarik dengan ide Zeno yang menghubungkan antara kesemuan gerak dengan konsep tak-hingga. Ketika berbicara keseharian yang terbatas, ia menganalisisnya lewat serangkaian kecil-kecil yang jumlahnya mendekati tak-hingga. Pada akhirnya jalan berpikir ini menghasilkan ide baru yang segar — kalau tidak boleh dibilang absurd sama sekali. 

Kalau ada di antara pembaca yang akrab dengan matematika, kemungkinan akan ngeh bahwa ide-ide Zeno punya bidang bahasannya sendiri. Keanehan Paradoks #1 dan #2, misalnya, dapat dijelaskan lewat deret konvergen. Lewat ilmu kalkulus para ahli matematika belajar bagaimana menjumlahkan irisan-irisan kecil yang jumlahnya mendekati tak-hingga. Menariknya: biarpun irisannya tak-hingga, kalau diintegralkan, ternyata jumlahnya finite. Yang semacam ini membantu menjelaskan hal-hal paradoks dalam paparan Zeno.
Bagaimana perkara keseharian yang terbatas (finite) dapat dianalisis menggunakan metode tak-hingga (infinite), nah di situ menariknya. 

Seiring dengan kemajuan ilmu matematika, konsep “ketakhinggaan dalam berhingga” (“infinity in finity”) jadi mudah dicerna. Akan tetapi ini bukan berarti semua masalah Zeno sudah selesai. Masih ada pertanyaan-pertanyaan filosofis yang perlu dijawab.3
Masalahnya sendiri bukan pada bagaimana matematika menyelesaikan paradoks Zeno, melainkan, bagaimana memahami filosofi di balik jalan pikiran Zeno. Apa itu gerak? Apa sebenarnya hakikat perubahan? Seperti apakah realitas? Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah concern filsafat yang sifatnya di luar jangkauan matematik. 

Sebagaimana filsuf terkenal Bertrand Russell berkomentar secara khusus tentang Zeno,
”Zeno’s arguments, in some form, have afforded grounds for almost all theories of space and time and infinity which have been constructed from his time to our own.” 4
Daftar Pustaka
[1] ^ Sebenarnya tidak cuma empat; ada juga beberapa tambahan yang disampaikan oleh Aristoteles. Meskipun demikian empat paradoks yang ditampilkan di sini adalah yang paling terkenal.
[2]  Aristoteles, Physics. (terjemahan Inggris oleh W.D. Ross)
[3]  Papa-Grimaldi, Alba. “Why Mathematical Solutions of Zeno’s Paradoxes Miss the Point: Zeno’s One and Many Relation and Parmenides’ Prohibition”(The Review of Metaphysics) (format PDF)
[4] ^ Sebagaimana dikutip dalam Dowden, Bradley: Zeno’s Paradoxes (Internet Encyclopedia of Philosophy)