SEJARAH
INFINITY
![]() |
Oleh:
KELOMPOK I
AHMAD RUSTAM
PROGRAM PASCA SARJANA
PENDIDIKAN MATEMATIKA
UNVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012
Sejarah Infinity
Cabang pengkajian yang dikenal dengan sejarah yaitu penyelidikan
tentang asal-usul (keturunan) silsilah suatu kejadian dan peristiwa yg
benar-benar terjadi pd masa lampau. Infinity mengandung
makna sesuatu yang tanpa batas. Kata infinity dalam bahasa Latin diterjemahkan
sebagai “ketakhinggaan”, sedangkan dalam bahsa Yunani diterjemahkan sebagai tak
berujung.
Seiring dengan perkembangan pemikiran manusia dalam perkembangan zaman,
pada konsep berhitung. Para ilmuan berusaha terus mencari tidak hanya pada
bilangan terhingga melaingkan juga bilangan yang tak terhingga (ketakhinggaan).
Pada zaman Eropa kuno dan lama, orang-orang Eropa mengkaji
ketakhinggaan mengaitkan dengan keagamaan. Sedangkan pada orang-orang Yunani
Kuno dan lama mengkaji mengaitkan dengan alam. Pada masa itu mereka membahas
ketakhinggaan dengan bebas.
Zaman orang-orang Yunani Kuno mereka mengakaji bukan hanya
bilangan ketiadaan atau nol tetapi juga membahas hakekat sesungguhnya bilangan renik
(kecil) yang terus mendekati ketiadaan dan jika digandakan terus mendekati
ketakhinggaan. Pembahasan bilangan itu terus dilanjutkan sehingga pada akhirnya
zaman yunani Kuno dan lama muncul 4 paradoks Zeno yang baru terjawab setelah
2000 tahun kemudian yaitu abad ke-17.
Seiring dengan penyelidikan ketakhinggaan, ternyata orang-orang
Eropa Kuno dan lama menerima pemikiran ketakhinggaann dari orang-orang Yunani. Akan
tetapi pada hakekatnya pemikiran-pemikiran itu diterima setelah zaman Plato dan
Aristoteles dan mereka menerima bukan pada saat pengertian berkembang dengan
baik.
Origenes (185-254) turut menolak kepribadian tak hingga yang
sesungguhnya hal ini sejalan dengan paham Aristoteles yang menyatakan bahwa tak
hingga dalam pengertian infinitum actum
non datum yaitu tak hingga tidak ada dalam kenyataan sesungguhnya. Hampir
seabad kemudian St. Agustinus (354-430) dalam De libero arbitrio menyatakan bahwa bilangan disebut sebanyak kali
bilangan itu memiliki satu. Bila suatu bilanngan memiliki dua kali satu maka
disebut dua; selanjutnya tiga kali satu
disebut tiga; ... begitu seterusnya, sehingga tak seorang pun yang dapat
mencapai semua bilangan, karena “bilangan tak terbatas”.
Pada abad ke-7 muncul seorang matematikawan India yang
memperkenalkan nol dalam sistem bilangan mereka. Mereka berpikir bagaimana
membuat nol dalam operasi aritmatika. Baskara II menyatakan bahwa nol dikalikan
dengan infinite hasilnya sama dengan setiap bilangan n, jadi semua bilangan
adalah sama. Selanjutnya pada abad ke-9 Johannes Scotus Erigena menyatakan dalam Patrologia latina CXXII bahwa berhitung mulai dengan kesatuan dan
daripadanya semua bilangan berkembang serta kedalamnya mereka berubah. Selain
itu ilmu ukur mulai dengan titik dan daripadanya semua bentuk berkembang serta
kedalamnya mereka berubah. Pada pengertian tersebut bilangan itu dapat saja
berkembang samapi tak hingga.
Pembahasan bilangan tak hingga oleh Robert Grosseteste (1169-1253)
memulainya pada pembahasan cahaya dalam buku tentang “Cahaya atau Permulaan Bentuk”. Menyatakan bentuk yang pertama kali
yang diciptakan oleh Zat pertama yaitu cahaya. Dari pembahasan ini dikaitkan dengan
pembahasan bilangan yang selanjutnya kebahasan keagamaan.
Argumen Grosseteste bahwa “jumlah tak hingga bilangan berhubungan
dengan suatu jumlah (kuantitas) tak hingga dalam setiap perbandingan...”. Dan selanjutnya
ia menyatakan bahwa beberapa
tak hingga adalah lebih besar daripada tak hingga lainnya, dan beberapa lagi
adalah lebih kecil.
Grosseteste menganggap bahwa bilangan tak hingga memiliki besaran
yang berbeda. Bahkan ia menyatakan bahwa perkalian sesuatu sederhana sampai tah
hingga kali harus menghasilkan sesuatu jumlah yang terhingga.
St. Thomas Aquinas (1225-1274) mempunyai pengertian tersendiri
tentang tak terhingga serta menerimah paham Aristoteles. St. Thomas Aquinas menyatakan bahwa kemampuan di samping sesungguhnya. Selanjutnya satu-satunya
yang tidak mengandung hanya sekedar kemampuan tetapi secara lengkap merupakan
keperibadian tak hingga yang murni sesungguhnya adalah Tuhan.
St. Thomas Aquinas kita dapat
menganggap bahwa:
“Keserbaterusan (continuum)
sebagai berkemampuan untuk terbagi ad infinitum. Karena tak hingga
sesungguhnya tidak ada maka tiada garis yang terkecil; titik bukan garis yang
terkecil melainkan hanya merupakan bagian dari garis karena titik tidak
terbagi. Dari ketidakterbagian tidak dapat muncul keserbaterusan (kekontinuan).
Suatu titik hanya dapat melahirkan suatu garis melalui gerak”.
Kemudian
pada abad ke-15 Nicholas Krebs atau Nicholas dari Cusa dalam bukunya De
docta ignorantia menyatakan bahwa tak hingga sebagai tak hingga saja tak
diketahui karena tak hingga ada di atas semua perbandingan sehingga tak hingga
sudah menunjukkan pembedaan dengan lainnya dan demikian pula tak hingga tak
dapat dipahami tanpa bilangan.
Nicholas dari Cusa mengartikan juga tak hingga adalah suatu
maksimum dan pada tingkatan itu tak ada lagi tingkatan di atas dan tidak pula
sama dengan, sehingga maksimum sesungguhnya lebih besar dari daya kita untuk
memahaminya. Begitu juga halnya minimum tak ada yang lebih kecil dari minimum
sehingga keduanya memiliki sifat yang sama atau maksimum dapat dipadankan
dengan minimum. Misalkan maksimum itu diterapkan pada keliling lingkaran maka
minimum itu pada pusat lingkaran, maka pada tak hingga keliling dan pusat
lingkaran itu sama. Dari pengertian tersebut Nicholas dari Cusa mengemukakan
bahwa alam semesta itu tidak berpusat di bumi.
Setelah setengah abad kemudian ditemukan Giordano Bruno
(1548-1600) dalam bukunya De l’infinito,
universo, e mondi Bruno menyatakan bahwa alam semesta adalah tak hingga. Bruno
membedakan dua macam tak hingga pada alam semesta, yakni tak hingga dalam
ukuran dan tak hingga dalam banyaknya dunia-dunia. Dan Bruno membedakan lagi
bahwa alam semesta tak hingga total dan tak hingga tidak total, hal ini timbul karena
masalah keagamaan.
Pengertian tak hingga total adalah bagian daripadanya adalah
masing-masing tak hingga dan satu-satunya tak hingga total adalah Tuhan.
Sedangkan tak hingga tidak total adalah masing-masing yang kita pilih
daripadanya adalah bersifat tak hingga.
Pada
awal abad ke-17 Rene Descartes (1596-1650) seorang ilmuan yang memecahkan
paradoks Zeno, setelah 20 abad berlalu, yakni dapat menjelaskan secara
memuaskan dengan menggunakan limit jumlah deret tak hingga. Hanya saja pada
waktu itu bilangan tak hingga belum terpecahkan, melaingkan ditampilkan dalam
filsafat. Sedangkan Imannuel kant mempertentangkan dalam ruang dan waktu, ia
menyatakan bahwa ruang dan waktu terhingga dan juga tak hingga. Hal ini
berkaitan alam pikiran Kant yakin bahwa “sesuatu di dalam sesuatu itu sendiri”
yang terletak “di luar” pemikiran manusia.
Pada
abad ke-18 banyak pula ilmua dari Berlin, diantaranya Leopold Kronecker
(1823-1891), Ernst Eduard Kummer (1810-1893), Richard Dedekind (1823-1916), Georg
Probenius (1849-1917), Wilhelm Weber dan
Georg Cantor (1845-1918) mereka membentuk kelompok yang dikenal dengan
perguruan Berlin. Mereka berkesimpulan bahwa pengetatan dasar matematika harus
dilakukan melalui pengetatan bilangan sedangkan, sedangkan pengetatan
pengertian bilangan harus dimulai dari pengetatan pengertian bilangan asli,
karena mereka beranggapan bahwa matematika didasarkan atas bilangan dan semua
bilangan didasarkan atas bilangan asli.