EMPAT PARADOKS ZENO

Banyak karya yang dilontarkan oleh Zeno
akan tetapi menurut penelusuran sejarah hanya beberapa yang sempat diabadikan
oleh filsuf Aristoteles. Diantaranya Empat paradoks karya Zeno paling terkenal,
dan membingungkan banyak filsuf setelah zamannya. beberapa abad kemudian,
akhirnya empat paradoks utama Zeno barulah terpecahkan oleh para ahli
matematika pada abad ke-17.
Dari catatan Aristoteles tentang Empat Paradoks Zeno1 yang
terkenal yaitu sebagai berikut:
1. Paradoks Dikotomi
“Sebuah benda yang bergerak tidak akan pernah
mencapai tujuan. Pertama-tama dia harus menempuh perjalanan setengah jarak.
Lalu setelah itu dia mesti menempuh seperempat, seperdelapan, seperenambelas,
sepertigapuluhdua … Sedemikian hingga jumlah perjalanannya menjadi tak-hingga.
Oleh karena mustahil melakukan perjalanan sebanyak tak-hingga, maka benda
tidak akan dapat sampai tujuan.”
2. Paradoks Achilles dan Kura-kura
“Achilles dan Kura-kura melakukan lomba lari,
meskipun begitu, kura-kura diizinkan start lebih awal.
Agar dapat menyamai kura-kura, Achilles
menetapkan sasaran ke tempat kura-kura saat ini berdiri.
Akan tetapi, tiap kali Achilles bergerak maju,
kura-kura juga bergerak maju. Ketika Achilles sampai di tempat kura-kura,
kura-kura sudah berjalan sedikit ke depan.
Lalu Achilles mengejar posisi kura-kura yang
sekarang. Akan tetapi setibanya di sana, kura-kura juga sudah maju
sedikit lagi.
Lalu Achilles mengejar posisi kura-kura yang
sekarang. Akan tetapi setibanya di sana, kura-kura juga sudah maju
sedikit lagi. Demikian seterusnya ad infinitum.
Jadi kesimpulannya: mustahil bagi Achilles untuk
bisa menyamai kura-kura dalam balapan.”
3.
Paradoks Anak Panah
“Misalnya kita membagi waktu sebagai “deretan
masa-kini”. Kemudian kita lepaskan anak panah. Di setiap “masa-kini” anak panah
menduduki posisi tertentu di udara.
Oleh karena itu anak panah dapat dikatakan diam
sepanjang waktu.”
4. Paradoks Stadion
“Terdapat tiga buah barisan benda A, B, dan C di
lapangan tengah stadion.
Barisan A terletak diam di tengah lapangan.
Sementara B dan C masing-masing terletak di ujung kiri dan kanan A.
Kemudian B dan C bergerak saling mendekati
dengan kecepatan yang sama (hendak bersejajar dengan barisan A).

Antara “Sebelum” dan “Sesudah”, titik C paling
kiri melewati dua buah B, tetapi cuma satu buah A.
Berarti waktu C untuk melewati B = setengah
waktu untuk melewati A. Padahal A dan B adalah unit yang identik!
Mungkinkah setengah waktu = satu waktu?”
Pembahasan paradoks zeno:
Ada dua tema yang dominan dalam Paradoks
Zeno, yakni gerak dan
ketakhinggaan. Sebagaimana sudah diceritakan di awal, Zeno menganggap
bahwa perubahan di dunia bersifat semu. Pendapat itu kemudian tercermin lewat
empat buah paradoks di atas.
Dalam paradoks pertama (“dikotomi”), Zeno
menyampaikan bahwa gerak benda antara dua titik bersifat mustahil — atau
minimal, mengandung aspek filsafat yang misterius. Ada baiknya kalau kita simak
lagi paradoksnya di bawah ini.

Setengah, seperempat,
seperdelapan, seperenambelas….
Dalam grafik di atas digambarkan bagaimana
terdapat banyak segmen perjalanan antara dua titik (0-100). Yang mengganggu
Zeno di sini bukan geraknya, melainkan, bagaimana ketakhinggaan bisa begitu merepotkan. Dalam contoh di atas Zeno
mengetengahkan bahwa — karena jumlah segmen yang harus ditempuh sejumlah
tak-hingga — maka gerak dari satu tempat ke tempat lain adalah mustahil.
Ibaratnya begini. Apabila orang hendak
berjalan menuju garis finis, maka lintasan jalannya dapat dibagi jadi bagian
kecil-kecil. Kemudian supaya bisa lewat, maka bagian kecil-kecil itu harus
dijalani satu per satu. Sedemikian hingga pada akhirnya orang sampai garis
finis.
Akan tetapi problemnya adalah bahwa yang
kecil-kecil itu jumlahnya amat
banyak. Malah menurut Zeno: jumlahnya mencapai tak-hingga.
Jadi sekarang sudut pandangnya berubah.
Kita tahu orang bisa menempuh jarak kecil-kecil, tetapi, bisakah orang menempuh
jarak kecil-kecil itu tak
berhingga kali?
Nah di sini akal mengatakan bahwa itu
mustahil. Zeno sendiri akhirnya menilai bahwa gerak antara dua titik itu
adalah semu. Biarpun di dunia nyata orang melakukannya dengan
mudah, bukan tak mungkin bahwa itu sebenarnya hanya ilusi.
Hal yang sama juga berlaku di paradoks
kedua “Achilles dan Kura-kura”. Lewat paradoks ini Zeno menyatakan bahwa
“mustahil bagi orang yang telat balapan untuk dapat menyamai lawannya”.
Alasannya? Karena terdapat sejumlah
kemajuan kecil-kecil yang tak mungkin dikejar. Setiap Achilles sampai di tempat
kura-kura, kura-kura selalu sudah melajusedikit lagi di depan. Pada
akhirnya Achilles digambarkan Zeno sebagai “tak akan mampu melewati kura-kura”.

(keterangan: t0
melambangkan situasi pada saat pertama; t1 melambangkan situasi pada saat
kedua; dan seterusnya)
Problemnya tentu saja bahwa di dunia nyata
hal itu tidak berlaku, makanya disebut paradoks. Siapapun yang pernah nonton
balap tahu hal ini. Pembalap yang startbelakangan selalu bisa
menyalip lawan di depannya. Memang kadang agak sulit melakukannya, tetapi bukan
tidak mungkin.
Sebagaimana halnya dengan paradoks
pertama, yang hendak disampaikan Zeno di sini adalah bagaimana konsep gerak
jadi semu kalau dianalisis secara tak-hingga.
Sementara itu, lain lagi dengan paradoks
ketiga tentang anak panah. Berbeda dengan sebelumnya yang ini mencoba
menunjukkan bahwa “gerak” dan “diam” itu sebenarnya tak dapat dipisahkan.

Zeno melihat waktu sebagai rangkaian
“masa-kini” yang berkesinambungan. Oleh karena itu sebuah anak panah yang
meluncur memiliki berbagai versi “masa-kini” di perjalanannya. Ada “masa-kini”
sesaat sesudah lepas dari busur; “masa-kini” setelah beberapa detik di angkasa,
dan seterusnya.
Problemnya adalah bahwa di tiap
“masa-kini” itu anak panah mendiami tempat yang tetap. Persis seperti kalau
direkam kamera video. Di setiap frame tampak berbagai kondisi
anak panah. Semua tampak diam. Akan tetapi kalau videonya diputar,
barulah terkesan bahwa anak panah itu sebenarnya bergerak.
Jadi di sini ada problem: bahwa anak panah
itu “diam” sekaligus “bergerak”. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah gerak
itu?
Singkat cerita, Zeno menilai bahwa
paradoks anak panah menunjukkan kebenaran filsafatnya. Bahwa gerak itu aslinya
semu — suatu benda terkesan bergerak cuma oleh persepsi
manusia saja.
Paradoks terakhir (“Paradoks Stadion”)
adalah yang paling sederhana dan kurang bermutu dibandingkan dengan
yang lain. Meskipun begitu tetap ada baiknya kalau dianalisis barang sedikit. So
here goes.
Dalam Paradoks Stadion, Zeno
mengetengahkan bahwa “dua benda yang saling mendekati butuh waktu lebih singkat
untuk bisa bersejajar”.

Sebenarnya ini adalah penerapan dari relativitas
Galileo yang diajarkan di bangku SMA kita dulu. Ada yang masih ingat
ceritanya? Kalau dua benda bergerak, yang satu bisa dianggap diam, sementara
yang satu lagi kecepatannya dijumlahkan.
Nah demikian juga dengan kasus Paradoks
Stadion di atas. Ketika B dan C sama-sama bergerak, maka jumlah waktu sebelum
mereka saling bertemu juga akan mengecil, sebab kecepatannya saling
menjumlahkan. Sementara A (yang tidak bergerak) tidak mendapat keuntungan
tersebut.
Penutup: Infinity in finity
Sebagaimana sudah disebut beberapa kali di
atas, Zeno adalah filsuf yang tidak percaya pada gerak dan perubahan. Lewat
empat paradoks di atas ia ingin memastikan hakikat kenyataan sebenarnya.
Sebagai seorang Eleatik Zeno berpendapat bahwa semua gerak benda itu semu; oleh
karena itu, untuk membuktikan keyakinannya, ia kemudian merancang serangkaian
paradoks.
Tentunya kemudian timbul pertanyaan,
apakah pendapat Zeno itu benar atau salah? Meskipun begitu soal itu tak akan
kita bahas di sini. Biarlah diserahkan pada yang ahli filsafat sahaja.
Saya sendiri amat tertarik dengan ide Zeno
yang menghubungkan antara kesemuan gerak dengan konsep tak-hingga. Ketika
berbicara keseharian yang terbatas, ia menganalisisnya lewat serangkaian
kecil-kecil yang jumlahnya mendekati tak-hingga. Pada akhirnya jalan berpikir
ini menghasilkan ide baru yang segar — kalau tidak boleh dibilang absurd sama
sekali.
Kalau ada di antara pembaca yang akrab
dengan matematika, kemungkinan akan ngeh bahwa ide-ide Zeno
punya bidang bahasannya sendiri. Keanehan Paradoks #1 dan #2, misalnya, dapat
dijelaskan lewat deret konvergen. Lewat ilmu kalkulus para ahli matematika
belajar bagaimana menjumlahkan irisan-irisan kecil yang jumlahnya mendekati
tak-hingga. Menariknya: biarpun irisannya tak-hingga, kalau diintegralkan,
ternyata jumlahnya finite. Yang semacam ini membantu menjelaskan
hal-hal paradoks dalam paparan Zeno.
Bagaimana perkara keseharian yang
terbatas (finite) dapat dianalisis menggunakan metode
tak-hingga (infinite), nah di situ menariknya.
Seiring dengan kemajuan ilmu matematika,
konsep “ketakhinggaan dalam berhingga” (“infinity in finity”) jadi mudah
dicerna. Akan tetapi ini bukan berarti semua masalah Zeno sudah selesai. Masih
ada pertanyaan-pertanyaan filosofis yang perlu dijawab.3
Masalahnya sendiri bukan pada bagaimana
matematika menyelesaikan paradoks Zeno, melainkan, bagaimana memahami filosofi di
balik jalan pikiran Zeno. Apa itu gerak? Apa sebenarnya hakikat perubahan?
Seperti apakah realitas? Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah concern filsafat
yang sifatnya di luar jangkauan matematik.
Sebagaimana filsuf terkenal Bertrand
Russell berkomentar secara khusus tentang Zeno,
”Zeno’s arguments, in some form, have
afforded grounds for almost all theories of space and time and infinity which
have been constructed from his time to our own.” 4
Daftar Pustaka
[1] ^ Sebenarnya
tidak cuma empat; ada juga beberapa tambahan yang disampaikan oleh Aristoteles.
Meskipun demikian empat paradoks yang ditampilkan di sini adalah yang paling
terkenal.
[2] Aristoteles, Physics.
(terjemahan Inggris oleh W.D. Ross)
[3] Papa-Grimaldi,
Alba. “Why Mathematical Solutions of
Zeno’s Paradoxes Miss the Point: Zeno’s One and Many Relation and Parmenides’ Prohibition”. (The
Review of Metaphysics) (format PDF)
[4] ^ Sebagaimana
dikutip dalam Dowden, Bradley: Zeno’s Paradoxes (Internet
Encyclopedia of Philosophy)
terkadang hidup itu melelahkan, tetapi bagi orang yang bersabar akan jadi kebahagiaan dipuncak kesabaran.
BalasHapus