Selasa, 02 Juli 2013

Psikologi Perkembangan Kognitif


 Psikologi Perkembangan Kognitif

oleh:

AHMAD RUSTAM (G2 I1 12 008)




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2013




MEMORI JANGKA PANJANG

Bagaimana jadinya hidup ini jika tidak memiliki memori jangka panjang (long-term memory-LTM) yang berfungsi normal? Film Memento menyediakan sebuah jawaban. Film tersebut berkisah mengenai seorang pria yang mendapat serangan brutal bersama istrinya, sehingga ia tidak dapat menyimpan kejadian-kejadia baru dlaam LTM. Ambisi hidupnya adalah untuk membalas dendam pada orang yang menyerangnya. Ia mencoba memfungsikan ingatannya dengan mengambil gambar dari dunianya melalui kamera polaroid-mobilnya, motelnya, teman-temannya, musuh-musuhnya. Catatan pada gambar tersebut dan tato dibadannya bertindak sebagai memori eksternal kehidpannya saat ini. Penonton ikut merasakan kesulitan pria tersebut, ketika baik pria ini maupun penonton harus menggunkan kilas baik untuk mencoba mengetahui kehidupan. Saya merekomendasikan film ini untuk anda tonton, namun saya harus melihatnya dua kali  untuk dapat memahami ceritanya.
Meskipun bagi kita sulit unutk membayangkan perjuangan seseorang yang mengalami kerusakan memori, kita semua iri pada seseorang yang memiliki memori eksternal yang sangat  bagus dan berharap kita dapat meningkatkan memori kita sendiri. Bagi mahasiswa, harapan ini terutama ditujukan saat mereka menghadapi ujian. Jika saja kita dapat mengingat segala sesuatu yang telah kita pelajari, kita dapat melakukannya dengan jauh lebih baik. Kebutuhan untuk mengingat materi setelah ujian kelihatannya kurang mendesak, namun bahkan dalam kasus ini, memori yang bagus tetap dapat menguntungkan.
Salah satu pertanyaa yang sering ditanyakan oleh para mahasiswa sebelum saya memberikan ujian kognisi pertama saya disetiap semester adalah mengenai pentingnya mengingat nama. Mahasiswa percaya bahwa nama merupakan sesuatu yang menantang untuk diingat, dan ada beberapa ada bukti yang membenarnya hal ini. Mahsiswa yang telah menyelesaikan kuliah psikologi kognitif di universitas terbuka di Inggris, diuji kemampuan mereka dalam mengingat nama dan konsep namun setelah jangka waktu retensi antara 3 sampai 125 bulan (Conway, Cohan, & Stanhope, 1991). Pertanyaan-pertanyaan merupakan pertnayaan untuk mengisi titik-titik dengan nama atau konsep yang hanya disajikan huruf  awalnya saja. Misalnya, E_adalah psikologi jerman pertama yang mengkaji pembelajaran mengenai suku kata yang tidak masuk akal. Dalam hambatan p_lupa disebabkan oleh interferensi dari pembelajaran sebelumnya.
Figur 5. 1 menunjukkan hasil penelitian tersebut. Selama 3 tahun pertama, nama-nama cenderung lebih cepat terlupakan daripada konsep. Akan tetapi, antara 3-10 tahun, ingatan sama-sama terhenti pada level yang sama untuk kedua pengetahuan tersebut. Hal yang menonjol adalah penemuan bahwa setelah 10 tahun, orang masih tetap dapat mengingat lebih dari 25 persen materi.
Salah satu cara terbaik untuk mengingat materi sepanjang hidup kita adalah  dengan meluangkan waktu untuk mempelajarinya (Bahrick & Hall, 1991). Mahasiswa yang mengambil kuliah matematika pada level kalkulus atau di atasnya biasanya mampu mengingat dengan sangat baik mengenai aljabar yang dipelajari di sekolah mengenai atas selamanya hampir 50 tahun. Prestasi mahasiswa yang sama-sama mempelajari aljabar dengan baik di sekolah menengah atas, namun tidak mengambil kuliah matematika, menurun sampai pada level berisiko dalam jangka waktu yang sama. Secara mengejutkan, ukuran akademik seperti skor dan peringkat Scholastic Aptitude Test (SAT) hanya memiliki dampak yang kecil terhadap ingatan (Bahrick & Hall, 1991; Semb & Ellis, 1994).
Untuk menjaga informasi dalam jangka waktu panjang, kita harus mengeluarkan informasi tersebut dari memori jangka pendek (short term memori-STM) dan memasukkannya ke dalam penyimpanan yang lebih permanen yang disebut memori jangka panjang (long term memry-LTM). Bab ini membahas beberapa penelitian mengenai LTM-seperti bagaimana memasukkan informasi ke dalam LTM dan bagaimana mengujinya. Bagian pertama bab ini menggambarkan beberapa cara agar informasi dapat ditransfer dari penyimpanan sementara (STM) ke penyimpanan yang lebih permanen (LTM). Kita mulai dengan membahas karakteristik dasar LTM, termasuk strategi pembelajaran. Sebagian besar hal yang sudah kita ketahui dari topik ini dibahas di makalah penting yang ditulis  Atkinson dan Shiffrin yang  diterbitkan tahun 1968. Penulis makalah tersebut mendiskusikan beberapa strategi yang dapat memfasilitasi proses belajar, namun mereka beberapa terutama mempelajari mengenai pengulangan verbal. Mereka berasumsi bahwa setiap kali sebuah item diulang, maka informasi mengenai item tersebut dimasukkan ke dalam LTM. Strategi lainnya yang memengaruhi pembelajaran adalah alokasi waktu belajar yang menuntut penilaian ketika sebuah hal dipelajari dengan cukup baik, maka tidak perlu dipelajari lagi.
Para psikologi juga tertarik untuk mengetahui bagaimana orang memanggil kembali informasi setelah disimpan di LTM. Langkah awalnya adalah memutuskan apakah informasi tersebut berada di LTM. Jika kita memutuskan iya, langkah kita berikutnya adalah memilih suatu rencana untuk memanggil kembali informasi tersebut jika kita tidak dapat mengingatnya lagi dengan segera. Mengingat suatu informasi yang relevan biasanya merupakan hal yang
penting, bahkan pada tugas pengenalan kembali karena mengenal sebuah kejadian atau seseorang sering kali tidaklah cukup—kita biasanya perlu untuk mengetahui informasi tambahan. Setelah mendiskusikan beberapa aspek teoritis mengenai mengingat dan mengenali kembali, saya akan mengaplikasikan ide-ide tersebut pada ingatan saksi mata dan identifikasi tersangka.
Tes mengingat dan mengenali kembali merupakan tes memori secara langsung yang instruksinya secara khusus mengacu pada materi yang disajikan sebelumnya seperti ketika anda mengikuti ujian. Sebaliknya, tes memori tidak langsung menentukan apakah meteri yang disajikan sebelumnya membantu orang untuk melakukan dengan lebih baik pada tugas yang tidak mengacu pada materi yang disajikan sebelumnya, seperti mengidentifikasi kata-kata yang terdegradasi ketika kata-kata tersebut sebelumnya sudah diperlihatkan. Pasien dengan gangguan memori sering kali menyelesaikan tes memori langsung sama baiknya seperti orang dengan memori normal. Kita akan lihat beberapa teori mengenai efek tersebut pada bagian akhir bab ini. Namun, pertama-tama mari kita ke dasar, ke model yang dipresentasikan oleh Atkinson dan Shiffrin yang diperlihatkan pada Figur 4.1 (halaman 70).

Model Atkinson-Shiffrin
Mentaransfer Informasi dari Memori Jangka Pendek ke Memori Jangka Panjang
Treori yang diajukan oleh Atkinson dan Shiffrin (1968, 1971) menekankan pada interaksi anatar STM dan LTM. Mereka secara khusus tertarik pada bagaimana orang dapat mentrasfer informasi dari STM ke LTM. Memori jangka panjang memiliki dua manfaat penting. Pertama, sebagaimana kita ketahui, kecepatan lupa jatuh lebgih rendah untuk LTM. Beberapa psioilogi bahkan menyatakan bahwa informasi dalam LTM tidfak pernah hilang meskipun kita kita kehilangan kemampuan untuk memanggil kembali informasi tersebut. Apakah informasi hilang atau tidak munkin ditemukan bukanlah hal yang signifikan secara praktis, namun jika kita tahu bahwa informasi tersebut tetap terdapat di dalam memori, kita dapat berharap bahwa kita akan menemukannya suatu saat. Perbedaan lain antara STM dan LTM adalah bahwa LTM memiliki kapasitas yang tidak terbatas. Meskipun kita lihat di bab sebelumnya bahwa ada batas jumlah informasi yang dapat kita pertahankan dalam STM, kita tidak akan pernah tahu sampai titik mana kita tidak dapat mempelajari informasi baru karena penuhnya LTM.
Meskipun demikian, tidaklah selalu mudah memasukkan informasi baru ke dalam LTM. Atkinson dan Shiffrin mengajukan beberapa proses kontrol yang dapat digunakan sebagai usaha untuk mempelajari informasi baru. Proses kontrol (kontrol process) adalah strategi yang digunakan seseorang untuk memfasilitasi perolehan pengetahuan. Strategi tersebut meliputi strategi akuisisi terhadap pengulangan, pengodean, dan membuat gambaran.
   Pengulangan (rehearsal) merupakan repetisi informasi—baik dengan keras maupun lirih—secara terus-menerus hingga informasi tersebut berhasil dipelajari.
   Pengodean (coding)  berusaha menempatkan informasi agar dapat diingat dalam konteks informasi tambahan yang mudah diingat, seperti frase atau kalimat mnemonic. Misalnya, kebanyakan kita mempelajari bahwa garis kunci nada suara sopran adalah E, G, B, D, F dengan mengingat kalimat “Every good boy does fine”.
   Membuat gambaran (imaging) meliputi menciptakan gambaran visual untuk mengingat informasi verbal. Strategi ini merupakan trik memori lama—bahkan trik ini direkomendasikan oleh Cicero di Romawi Kuno untuk mempelajari daftar yang panjang atau pidato.
Daftar di atas dapat dikembangkan lebih lanjut, namun pengulangan, pengodean, dan membuat gambaran merupakan tiga cara utama dalam mempelajari sesuatu. Karena ada banyak proses kontrol yang dapat dipelajari, Atkinson dan  Shiffrin (1968) memutuskan untuk memfokuskan penelitian mereka hanya pada satu cara saja—pengulangan verbal.

Pengulangan Verbal dan Pembelajaran
Pengulangan verbal biasanya dianggap sebagai suatu bentuk pembelajaran dengan sistem hafal (rote learrning) karena melibatkan pengulangan informasi secara terus-menerus sampai kita pikir sudah berhasil mempelajarinya. Pengulangan verbal berguna ketika materi yang dipelajari agak abstrak yang akan sulit dengan menggunakan strategi pengodean atau membbuat gambaran. Tugas yang didesain oleh Atkinson dan Shiffrin (1968) menuntut pembelajaran materi yang abstrak dan tidak bermakna, sehingga mendorong subjek untuk menggunakan pengulangan.
Mahasiswa tingkat akhir dalam eksperimen tersebut mencoba mempelajari asosiasi antara suatu angka dua digit (sebagai stimulus) dan sebuah huruf (sebagai respon). Asosiasi berpasangan meliputi item-item, seperti 31-Q, 42-B dan 53-A. Masing-masing pasangan diperlihatkan selama 3 detik, berselang 3 detik sebelum percobaan berikutnya. Percobaan penelitian ini diselingi dengan percobaan tes yang manyajikan hanya angka dua digit saja dan subjek diminta untuk menambahkan huruf yang sebelumya merupakan pasangan angka tersebut. Salah satu variabel dalam eksperimen ini adalah angka percobaan yang terjadi antara percobaan penelitian dan percobaan tes. Beberapa asosiasi diujikan dalam percobaan berikutnya dan beberapa yang lain diujikan setelah jeda yang lamanya hampir sama dengan 17 percobaan.
Atkinson dan Shiffrin menginterpretasikan data dari eksperimen ini dengan mengajukan sebuah model yang menggunakan pengulangan verbal untuk mempelajari asosiasi tersebut. Mereka berasumsi bahwa mahasiswa mempertahankan jumlah yang pasti dari item dalam STM dan bahwa item-item tersebut diulang setiap kali mahasiswa tidak sedang melihat item baru atau sedang merespons selama percobaan tes. Pengaruh dari pengulangan adalah untuk mentrasfer informasi mengenai item tersebut ke dalam LTM. Tingkat pembelajaran bergantung pada berapa lama sebuah pasangan tertentu dipertahankan dalam perangkat pengulangan. Atkinson dan Shiffrin menyatakan bahwa pembeajran meningkat sebagai fungsi jumlah percobaan selama dilakukan pengulangan terhadap item. Ketika item tidak lagi diulang, maka informasi mengenai item tertentu menurun sejalan dengan disajikannya iten berikutnya dalam penelitian. Oleh karena itu, prediksi peluang jawaban jawaban yang benar bergantung pada jumlah percobaan ketika item diulang dan jumlah percobaan pengganggu yang terjadi di antara waktu item meninggalkan perangkat pengulangan dan percobaan tes.
Dalam contoh ini, sebuah item telah diulang, namun tidak berada dalam STM pada waktu tes. Jika item tersebut telah diulang, namun tidak lagi berada dalam STM, jawabannya harus dipanggil kembali dari LTM. Kemunkinan kedua adalah bahwa item tersebut diulang dan masih tetap aktif dalam STM. Kemunkinan ketiga adalah item tersebut tidak diulang sama sekali. Karena model Atkinson berasumsi bahwa hanya sejumlah aitem yang terbatas yang dapat dipertahankan dalam perangkat pengulangan, mengulang sebuah item baru akan dilakukan dengan konsekuensi menghilangkan salah satu item yang sudah ada dalam perangkat. Atkinson dan Shiffrin menyatakan bahwa item yang tidak diulang dapat dijawab dengan benar hanya jika segera diuji dalam percobaan setelah disajikan.

Pengulangan dan Efek Posisi Serial
Sebuah cara yang mudah untuk menguji pertanyaan yang menyatakan bahwa pengulangan verbal menghasilkan pembelajaran adalah dengan meminta seseorang untuk mengulang dengan suara keras. Eksperimenter kemudian dapat menghitung waktu pengulangan setiap item dan menentukan apakah peluang mengingat sebuah item berhubungan dengan jumlah pengulangan. Sebuah tugas didesain oleh Rundus (1971) persis dengan tipe ini. Rundus menyajikan daftar 20 kata benda kepada mahasiswa tingkat akhir di Standford. Kata-kata tersebut disajikan satu kali selama 5 detik untuk setiap item. Rundus menginstruksikan
Mahasiswa untuk mempelajari kata tersebut dengan cara mengulang dengan suara keras selama interval waktu 5 detik. Mereka bebas mengulang kata mana pun yang mereka inginkan sepanjang mereka melakukan pengulangan tersebut dalam waktu 5 detik. Setelah penyajian daftar kata tersebut, mahasiswa mencoba mengingat kata-kata tersebut secara berurutan.
Figur 5.2. menunjukkan hasil eksperimen tersebut. Peluang mengingat sebuah kata bergantung pada posisi kata tersebut dalam daftar. Kata-kata yang berada di permulaan dan kata-kata yang berada di akhir daftar lebih mudah diingat daripada kata-kat yang berada di tengah daftar. Bentuk U dari kurva ingatan yang disebut efek posisi serial (serial position effect) sering kali diperoleh dalam eksperimen ingatan. Ingatan yang lebih baik terhadapkata-kata di permulaan daftardisebut efek primer (primary effect), sedangkan ingatan yang lebih baik terhadap kata-katadi akhir daftar disebut efek kekinian (recency effect).
Kurva di atas yang menunjukkan jumlah waktu pengulangan setiap kata mengilustrasikan bahwa kata-kata pada permulaan daftar diulang lebih sering daripada kata-kata lainnya. Hal ini karena terdapat waktu untuk mengulang beberapa kata antara item dalam daftar, dan item di awal daftar adalah satu-satunya item yang ada untuk diualng di permulang. Hubungan antara kurva pengulangan dan mengingat menunjukkan bahwa efek primer dapat dijelaskan oleh teori Atkinson dan Shiffrin. Karena huruf-huruf awal diulang lebih sering daripada huruf lainnya, huruf-huruf tersebut harus memiliki  peluang lebih besar untuk dipanggil kembali dari LTM. Penjelasan ini secara tidak langsung menyatakan bahwa efek primer seharusnya hilang jika semua huruf dalam daftar sama-sama sering kali diulang. Faktanya, ketika subjek diinstruksikan untuk mengulang setiap huruf dengan frekuensi yang sama dengan cara hanya mengulang kata-kata yang ditampilkan, efek primer menghilang (Fischler, Rundus & Atkinson, 1970).
Meskipun jumlah pengulangan dapat memprediksi efek primer, jumlah tersebut tidak dapat memprediksi efek kekinian. Orang-orang biasanya bagus dalam mengingat kata-kata di akhir daftar meskipun mereka tidak lebih sering mengulang huruf-huruf tersebut dibandingkan huruf-huruf di tengah daftar. Efek kekinian sering dijelaskan oleh pendapat yang menyatakan bahwa kata-kata di akhir daftar masih terdapat dalam STM ketika seseorang mulai mengingat. Mahasiswa dalam eksperimen Rundus mengingat kata-kata tersebut segera setelah item terakhir disajikan; sehingga masuk akal untuk berasumsi bahwa kata-kata yang baru saja mereka lihat masih ada di STM.
Kita belajar dari eksperimen Peterson dan Peterson yang sudah kita diskusikan di Bab 4 bahwa informasi hilang dengan cepat dari STM jika orang harus melaksanakan tugas lainnya. Jika efek kekinian disebabkan oleh pemanggilan kembali sebagian besar item yang saat ini ada di STM, seharusnya efek tersebut hilang jika seseorang harus melakukan tugas lain sebelum mengingat item tersebut. Subjek dalam eksperimen yang didesain oleh Postman dan Phillips (1965) harus melakukan tugas aritmetika selama 30 detik sebelum mereka mencoba mengingat daftar kata. Tugas aritmetika berhasil menghilangkan efek kekinian yang berarti hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa kata-kata di akhir daftar sudah aus dari STM.
Bukti lain yang mendukung pendapat bahwa efek primer disebabkan oleh pemanggilan kembali informasi dari LTM dan efek kekinian disebabkan oleh pemanggilan kembali informasi dari STM datang dari pasien yang menderita amnesia. Orang-orang ini memiliki kesulitan dalam memanggil  kembali informasi dari LTM, namun sering kali memiliki STM yang normal ketika diukur dengan tes rentang memori tipikal yang sudah kita diskusikan pada bab sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa mereka seharusnya jauh lebih buruk dalam mengingat kata-kata awal dalam daftar dibandingkan subjek kontorl, dan sama baiknya dengan subjek kontrol dalam mengingat kata-kata yang baru dalam daftar. Kenyataannya, hassil ini memang benar-benar diperoleh (Baddeley & Warrington, 1970).
Hal yang adil jika kita coba melihat penjelasan lain mengenai efek kekinian yang direviri oleh Greene (1986). Salah satu penjelasannya adalah adalah bahwa efek kekinian terjadi karena posisi di akhir daftar lebih berbeda dibandingkan kata-kata yang ada di tengah daftar. Pada bab berikutnya, kita akan melihhat bahwa item-item yang unik lebih mudah diingat. Namun, sekarang saya lebih suka kembali ke topik mengenai bagaimana orang dapat menggunakan strategi kontrol untuk mempelajari informasi baru.

Proses Kontrol
Sebagaimana diindikasikan dalam “Berita 5.1”, mahasiswa yang telah mempelajari keterampilan belajar secara efektif dapat mengerjakan ujian dengan lebih baik daripada mahasiswa yang tidak mempelajari keterampilan tersebut. Keterampilan belajar secara efektif  meliputi mempelajari strategi-strategi (proses kontrol) mengenai bagaimana menggunakan memori untuk mempelajari informasi.
Pada bab sebelumnya, kita sudah membahas sebuah proses kontrol khusus—pengulangan verbal—namun strategi tersebut hanyalah salah satu jenis strategi yang kita gunakan untuk memperoleh dan memanggil informasi. Figur 5.3 menunjukkan contoh lain proses kontrol yang kita gunakan untuk mempelajari suatu materi (Nelson & Narens, 1990).
Bayangkan Anda harus mempelajari terjemahan bahasa Inggris dari suatu daftar kata-kata bahasa Jerman. Pertama, Anda perlu memutuskan jenis proses apa yang akan digunakan. Apakah Anda akan menggunakan pengulangan, pengodean atau membuat gambar? Jika Anda dapat memikirkan cara-cara agar materi tersebut lebih bermakna (pengodean) atau dapat dengan mudah menghasilkan gambaran visual (membuat gambaran), Anda munkin ingin menggunakan strategi elaborasi tersebut dibandingkan dengan menggunakan strategi pengulangan verbal, Anda perlu memutuskan bagaimana mengalokasikan waktu

Pembelajaran di antara item-item tersebut (Nelson, Dunlosky, Graf, & Narens, 1994). Anda munkin akan memerlukan lebih banyak waktu untuk mempelajari terjemahan der Gipfel daripada mempelajari terjemahan die Kamera. Ketiga, Anda perlu memutuskan bagaimana mempertahankan informasi yang Anda pelajari. Peninjauan kembali secara berkala seharusnya dapat meminimalkan lupa. Terakhir, Anda perlu memikirkan strategi pemanggilan kembali yang dapat membantu ketika Anda mengalami kesulitan dalam mengingat terjemahan yang tepat.
Sebagaimana diindikasikan pada Figur 5.3, proses-proses kontrol ini dihubungkan dengan tiga aspek pembelajaran: perolehan, penyimpanan, dan pemanggilan kembali informasi. Strategi seperti memilih teknik pemprosesan yang bagus dan mengalokasikan waktu belajar berkaitan dengan perolehan pengetahuan (knowledge acquisition)—menempatkan informasi ke dalam LTM. Strategi pemanggilan kembali informmasi (retrieval strategy) meliputi mengeluarkan informasi dari LTM dengan cara mencari jawaban. Sebagaimana kita lihat di Figur 5.3, sebagian penelitian mengenai strategi kontrol berfokus pada peolehan dan penyimpanan informasi. Pada bagian selanjutnya, kita akan membahass pengetahuan mahasiswa mengenai strategi yang berkaitan dengan perolehan, penyimpanan, dan pemanggilan kembali informasi.

Perolehan Informasi
Merupakan strategi perolehan yang bagus bergantung pada kemampuan untuk menilai seberapa baik kita mempelajari materi tersebut. Misalnya, menentukan proses mana yang paling efektif menuntut kita untuk mengetahui bahwa kita dapat mempelajari lebih banyak dengan strategi tertentu dibandingkan dengan menggunakan strategi lainnya. Kita telah melihat bahwa Atkinson Shiffrin memasukkan tiga strategi perolehan informasi dalam model mereka—pengulangan, pengodean dan membuat gambaran. Mereka memilih untuk meneliti pengulangan, namun apakah strategi pengulangan merupakan strategi yang paling efektif? Seperti yang akan ditunjukkan di dua bab berikutnya, strategi elaborasi seperti pengodean dan membuat gambaran merupakan strategi yang secara khas lebih berhasil dari pada pengulangan.
Dapatkah orang-orang yang tidak tahu mengenai penelitian ini memilih sebuah strategi perolehan informasi yang bagus dengan menggunakan kemampuan mereka untuk menilai bahwa suatu strategi lebih efekfif dibandingkan strategi yang lainnya? Satu hambatan potensi adalah bahwa keputusan mengenai pembelajaran sering kali tidak akurat jika keputusan tersebut dibuat segera setelah mempelajari suatu item karena pembelajaran tersebut munkin saja hanya bersifat sementara. Munkin kita sangat pernah percaya diri bahwa kita telah mempelajari beberapa materi segera setelah kita menelaahnya, namun kemudian ternyata kemudian kita tidak dapat mengingat lagi materi tersebut (Atkinson, 1972a, 1972b). Karena alasan inilah, kita lebih baik menunda keputusan memilih pembelajaran hingga kita lebih yakin akan kepastian bahwa pembelajaran kita akan bersifat permanen.
Poin-poin tersebut diilustrasikan dengan baik dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dunlosky dan Nelson (1994). Mereka mendesain sebuah tugas asosiasi tersebut dipelajari oleh mahasiswa dengan menggunakan strategi pengulangan dan setengahnya lagi dengan menggunakan strategi imagery. Strategi imagery ternyata jauh lebih efektif—strategi ini menghasilkan 59 persen jawaban yang benar dibandingkan dengan strategi pengulangan yang hanya menghasilkan 25 persen jawaban benar. Mahasiswa lebih akurat dalam menilai perbedaan efektivitas dari kedua strategi tersebut ketika mereka menunda penilaian (setidaknya 30 detik kemudian) daripada ketika membuat penilain segera setelah mempelajari setiap item.
Penilaian pembelajaran yang akurat berguna tidak hanya untuk membantu kita memilih strategi perolehan informasi yang efektif, namun juga berguna untuk membantu kita menentukan item mana yang perlu lebih banyak dipelajari agar dapat diingat di waktu kemudian. Dunlosky dan Nelson menemukan bahwa penundaan penilaian juga membantu mahassiswa mengidentifikasi item individual mana yang sudah mereka pelajari. Masalah yang timbul akibat membuat penilaian segera setelah mempelajari item adalah bahwa item-item tersebut masih berada dalam STM, sehuingga sulit membuat prediksi seberapa mudah item tersebut akan dipanggil kembali di waktu kemudian.
Mari kita kembali ke efek positif serial sebagai contoh bagaimana kemampuan kita untuk memanggil kembali informasi dengan mudah segera setelah kita mempelajari informasi tersebut. Hal ini dapat menjadi indikator lemahnya kemampuan kita untuk mengingat suatu daftar kata, mereka secara khas mengingat lebih dahulu kata-kata yang ada di akhir daftar. Kata-kata ini juga akan mudah diingat di waktu kemudian (Benjamin & Bjork,1996).
Figur  5.4 menunjukkan bagaimana efek posisi serial menentukan pemanggilan kembali yang benar, baik untuk pengingatan yang dilakukan segera maupun tertunda (Benjamin & Bjork, 1996; Craik, 1970). Kekuatan efek kekinian untuk pengingatan yang dilakukan segera menjadi efek kekinian yang negatif (menurunkan ingatan terhadap kata-kata di akhir daftar) ketika melakukan pengingatan yang tertunda. Ingatan terhadap kata-kata STM membantu pengingatan yang dilakukan segera, namun justru menurunkan peringatan tertunda ketika dibutuhkan ketergantungan terhadap LTM. Benjamin dan Bjork (1996) menggunakan data ini untuk mengilustrasikan bagaimana kelancaran pemanggilan kembali (retrieval fluency) dapat menjadi indikator buruk untuk item mana yang sebaliknya dipelajari. Kelancaran pemanggilan kembali—kemudahan mengingat item—gagal memprediksi pembelajaran karena item-item yang mudah dipanggil selama pengingatan segera justru sulit dipanggil kembali selama pengingatan tetunda.
Aspek lain dari perolehan informasi yang ditunjukkan pada Figur 5.3 adalah alokasi waktu belajar. Mengingat contoh mempelajari kata-kata bahasa Jerman mengacu pada bagian permulaan tulisan ini. Jika anda sedang mendengarkan rekaman yang menyajikan kata-kata dalam urutan yang sudah ditentukan sebelumnya, maka anda tidak dapat memilih kata mana yang akan Anda pelajari. Namun, jika Anda punya pilihan, anda akan lebih suka menghasilkan lebih banyak waktu untuk mempelajari kata-kata yang menurut Anda pelajari.
Sebuah strategi yang khas yang berguna bagi mahasiswa adalah mengalokasikan lebih banyak waktu belajar untuk mempelajari item-item yang sulit. Terdapat banyak bukti bahwa pada faktanya, mahasiswa memang perlu menghabiskan lebih banyak waktu untuk mempelajari item yang sulit, kecuali mahasiswa yang lebih muda seperti mahasiswa tahun pertama (Son & Metcalfe, 2000). Akan tetapi, penelitian ini memberikan mahasiswa cukup banyak waktu untuk belajar. Bayangkan Anda berada dibelakang bacaan Anda dan harus bersiap menghadapi ujian, namun Anda tidak punya banyak untuk mempelajari semua materi ujian. Apa strategi terbaik yang dapat digunakan dalam kasus ini? Son dan Metcalfe (2000) menemukan bahwa ketika berada di bawah tekanan waktu yang tinggi, orang menghabiskan lebih banyak waktu yang lebih rendah, mereka terfokus pada item-item yang dinilai sulit.

Penyimpanan Informasi
Kerangka kerja yang dapat membantu untuk memikirkan mengenai penilaian pembelajaran adalah untuk membedakan antara begaimana dan pemahaman teoretis kita mempengaruhi penilaian ini (Koriat, Bjork, Sheffer, & Bar, 2004). Penilaian yang didasarkan pada kelancaran pemanggilan kembali informasi diperngaruhi oleh pengalaman kita. Jika kita menguji diri kita dan dapat memanggil kembali  jawabannya dengan mudah, kita percaya di waktu kemudian kita akan dengan mudah memanggil kembali jawabannya.
Sebaliknya, penilaian yang didasarkan pada teori bergantung pada pemahaman kita mengenai bagaimana variabel yang berbeda mempengaruhi pembelajaran dan penyimpanan informasi. Mahasiswa-mahasiswa dalam penelitian Son dan Metcalf (2002) menyadari bahwa mereka akan butuh banyak waktu untuk mempelajari lebih banyak item yang sulit, dan jika mereka hanya punya sedikit waktu, maka akan lebih baik untuk terfokus pada item-item yang mudah. Akan tetapi, mahasiswa dalam Eksperimen Dunlosky dan Nelson (1994) tidak tahu bahwa strategi imagery lebih baik daripada strategi pengulangan. Oleh karena itu, mereka lebih akurat dalam membuat penilaian tertunda dalam pembelajaran ketika pengalaman mereka menjadi prediktor yang lebih akurat dalam pembelajaran.
Perbedaan antara penilaian yang pada pengalaman dan penilaian yang didasarkan pada teori memunculkan isu apakah mahasiswa mengetahui bagaimana interval penyimpanan informasi memengaruhi pengingatan. Bayangkan Anda mempunyai dua jadwal ujian akhir pada rabu siang. Anda belajar untuk satu ujian pada selasa dan untuk ujian yang lain, Anda belajar Rabu pagi. Apakah Anda akan menghabiskan lebih banyak waktu untuk banyak pada selasa karena interval penyimpanan yang lebih lama?
Koriat dan koleganya mendesain serangkaian eksperimen untuk meneliti apakah interval penyimpanan akan mempengaruhi penilaian pembelajaran. Mahasiswa mempelajari daftar 60 asosiasi berpasangan dan kemudian melakukan tes sesegera munkin, sehari setelahnya, atau atau satu minggu kemudian. Pada akhir sesi pembelajaran, mereka ditanyai mengenai seberapa banyak kata-kata yang dapat: (1) diingat, (2) diingat keesokan harinya, atau (3) diingat satu minggu kemudian, tergantung pada apakah tes mengingat mereka dilakukan segera, satu hari kemudian, atau satu minggu kemudian. Figur 5.5 menunjukkan bahwa partisipan dalam setiap  kelompok, pada tarap rata-rata, memperkirakan bahwa mereka dapat mengingat sekitar 40 persen dari keseluruhan kata-kata. Penemuan ini konsisten dengan penjelasan
Kelancaran pemanggilan kembali ketika mahasiswa menggunakan pengalamannya saat ini untuk membuat penilaian tanpa mempertimbangkan seberapa lama mereka akan mengingat materi tersebut. Sejalan dengan harapan eksperimenter, interval penyimpanan informasi memengaruhi ingatan sebagaimana ditunjukkkan oleh prestasi tiga kelompok untuk setiap tiga interval penyimpanan informasi (Figur 5.5).
Sebuah alasan yang munkin mengapa mahasiswa tidak menganggap bahwa lupa dapat terjadi sepanjang waktu adalah karena masing-masing kelompok hanya ditanyai mengenai satu interval penyimapanan khusus. Desain eksperimen 2 mencoba untuk mendapatkan prediksi  berbasis teori dengan meminta sebuah kelompok partisipan baru untuk membuat perdiksi mengenai hasil yang diperoleh dalam eksperimen 1.setelah menerima sebuah gambaran detail mengenai metodologi eksperimen 1, para mahasiswa ini diminta memprediksi berapa banyak rata-rata kata yang dapat diingat oleh setiap kelompok setelah (1) 10 menit, (2) 1 hari, dan (3) 1 minggu. Perkiraan ini sangat akurat, sebagaimana ditunjukkan oleh Figur 5.5. Para mahasiswa menyadari bahwa lupa dapat terjadi sepanjang waktu, sehingga memperkirakan lebih sedikit pengingatan sejalan dengan peningkatan interval penyimpanan informasi. Perkiraan mereka tidak didasarkan pada pengalaman mereka karena mereka tidak harus mempelajari kata-kata.
Keuntungan mengambil kuliah psikologi kognitif adalah Anda akan mampu membuat prediksi yang lebih didasarkan pada teori. Tidak seperti mahasiswa  dalam eksperimen Dunlosky dan Nelson (1994), Anda akan mampu memprediksi bahwa Anda akan mengingat dengan lebih baik jika Anda menggunakan strategi imagery daripada jika Anda menggunakan strategi pengulangan. Anda seharusnya juga dapat menggunakan STM untuk pengingatan segera kata-kata di akhir daftar, namun menyadari bahwa kata-kata ini akan membutuhkan lebih banyak pembelajaran untuk pengingatan tertunda ketika Anda hanya bergantung pada LTM.

Pemanggilan Kembali I nformasi
Aspek ketiga pembelajaran yang ditunjukkan oleh Figur 5.3 adalah pemanggilan kembali informasi. Memperbarui informasi dari LTM bergantung pada mendapatkan kembali informasi tersebut melalui penggunaan strategi pemanggilan kembali informasi yang efektif. |ika ditanyai pertanyaan yang sulit, Anda awalnya harus memutuskan apakah Anda memiliki informasi yang relevan dalam memori. Glucksberg dan McCloskey (1981) menyatakan bahwa orang pertama-tama melakukan pencarian memori pendahuluan untuk memutuskan apakah mereka sudah menyrmpan setiap informasi yang relevan dengan pertanyaan tersebut. Sebagian besar orang tidak menemukan informasi apa pun yang relevan jika ditanyai, “Apakah Presiden Clinton menggunakan sikat gigi listrik?" sehingga mereka dapat merespons dengan cepat bahwa mereka tidak tahu. Akan tetapi, jika fakta-faka yang berpotensi relevan tersebut dipanggil kembali (seperti yang terjadi pada pertanyaan 'Apakah Kiev ada di Ukraina?"), seseorang kemudian akan mencari LTM untuk menegaskan atau menyangkal bukti.
Setelah memutuskan bahwa mencari dalam LTM adalah bermanfaat, Anda harus memutuskan bagaimana melakukan pencarian tersebut. Atkinson dan Shiffrin (1963) menyatakan bahwa orang mengembangkan rencana-rencana untuk mencari dalam LTM. Misalnya, jika diminta untuk mengingat nama semua 50 negara bagian, Anda dapat mengorganisasi pencarian Anda dengan cara mengurutkan sesuai alfabet atau sesuai lokasi geografis.
Mengingat informasi dari LTM kadang kala terjadi begitu cepat, sehingga para psikolog hanya punya sedikit kesempatan untuk mempelajari bagaimana orang memanggil kembali informasi. Akan tetapi, pemanggilan kembali informasi kadang-kadang sukses hanya setelah dilakukan pencarian yang lambat dalam ITM seperti yang terjadi pada fenomena tip of the tongue (TOT). Sebuah kata berada di ujung lidah Anda ketika Anda tahu kata tersebut tersimpan dalam LTM, tetapi Anda terhambat untuk memanggil kembali kata tersebut untuk sementara. Keberhasilan pemanggilan kembali sering kali dibantu dengan menggunakan sebagian informasi, seperti panjang kata atau huruf pertama suatu kata, untuk membatasi pencarian dalam tTM (R. Brown & McNeill, 1966).
Ada dua metode eksperimental umum untuk mempelajari kondisi TOT. Pertama, pendekatan laboratorium (laboratory approach) mengharuskan untuk membawa orang ke laboratorium dan meminta mereka untuk mengingat kata-kata yang dapat menyebabkan kondisi TOT. Kedua, pendekatan dengan menggunakan buku harian (diary approach) menuntut subjek untuk mencatat apayang terjadi ketika mereka dihadapkan pada hambatan memori dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Penelitian laboratorium pertama kali dilakukan secara sistematis oleh R. Brown dan D. McNeill (1966) yang memberi defenisi kata-kata langkah dan meminta subjek untuk mencoba mengingat kata-kata tersebut. Misalnya, “Apa nama alat yang menggunakan posisi matahari dan bintang untuk menavigasi?" Beberapa  kata menghasilkan kondisi TOT yaitu orang tidak mampu memikirkan seketika kata tersebut, namun yakin bahwa mereka akan dapat mengingatnya segera. Keberhasilan pengingatan sering kali dibantu dengan menggunakan sebagian informasi yang berkaitan dengan pengucapan kata tersebut, seperti panjang kata dan hurufawal kata tersebut. Ketika berusaha untuk menjawab pertanyaan sebelumnya, orang mungkin mengingat bahwa kata tersebut diawali huruf S dan mempunyai dua suku kata (sextant).
Penelitian lain menemukan hasil yang sama dengan menggunakan gambar-gambar dan deskripsi verbal mengenai artis (Read & Bruce, 1982). Sebagai contoh, deskripsi verbal mengenai Ray Bolger adalah "Di Broadway, ia memerankan Charley dalam Charley’ Aunt, tetapi ia lebih diingat saat berperan sebagai orang-orangan untuk menakuti burung (scarecrow) dalam film Judy Garland, The Wizard of Ozi Strategi yang paling banyak digunakan untuk mengingat nama adalah dengan cara menggunakan sebagian informasi, sebagaimana dilaporkan di awal oleh Brown dan McNeill (1966). Sebagian informasi meliputi informasi mengenai panjang sebuah nama atau huruf-huruf atau suara dalam sebuah nama.
Dua strategi lain yang populer adalah membangkitkan nama yang masuk akal dan menggunakan informasi kontekstual. Pembangkitan nama yang masuk akal sering dibimbing oleh sebagian informasi agar membatasi pencarian dalam LTM. Informasi kontekstual adalah informasi yang diasosiasikan dengan seseorang, seperti peran film dan televisi atau asal suku bangsa. Sangat jarcng subjek melaporkan bahwa mereka secara spontan mengingat nama tersebut tanpa memikirkan orang yang menjadi target. Oleh karena itu, keberhasilan pemanggilan kembali biasanya terjadi sebagai hasil pencarian memori yang terencana. Dalam penelitian naturalistis (naturalistic studies) mengenai TOT, subjek membawa buku harian untuk mendokumentasikan kondisi TOT ketika hal tersebut terjadi. Mereka diminta untuk mencatat informasi apa yang dapat mereka panggil kembali ketika mereka mencari kata tersebut dan bagaimana hambatan memori diatasi. Sebuah tinjauan mengenai teks ini (A. S. Brown, 1991) melaporkan sejumlah penemuan yang konsisten. Sebagai contoh:
1.                  TOT dilaporkan terjadi dalam kehidupan sehari-hari sekitar seminggu sekali dan meningkat sejalan dengan meningkatnya usia. Sebagian besar dipicu oleh nama-nama kenalan pribadi.
2.                  Kata-kata yang berkaitan, baik dengan makna maupun dengan pengucapan kata target sama-sama dapat diingat, namun masih lebih dominan pengucapan. Orang dapat menebak huruf pertama sekitar 50 persen dari keseluruhan kejadian.
3.                  Hampir separuh kondisi TOT dapat teratasi dalam waktu 1 menit.
Penemuan bahwa strategi pengingatan kembali informasi yang dominan meliputi pengingatan sebagian informasi pengucapan konsisten dengan hasil, baik penelitian laboratorium maupun naturalistis. Namun, ada juga beberapa perbedaan dalam penemuan tersebut. Tip of tongue yang terjadi secara alami menghasilkan pemanggilan kembali informasi secara spontan (spontaneous retrieval) dalam jumlah sedang (berkisar antara 17 hingga 41 persen) ketika tiba-tiba kata-kata "meletup dalam pikiran'tanpa ada usaha sadar untuk memanggilnya kembali. Sebaliknya, pemanggilan kembali secara spontan jarang terjadi (5 persen atau kurang) dalam penelitian laboratorium. Pemanggilan kembali informasi secara spontan lebih banyak terjadi dalam penelitian alamiah. Hal ini masuk akal karena
pemanggilan kembali kata tanpa sengaja, secara umum, biasanya terjadi ketika seseorang terlibat dalam aktivitas yang relatif otomatis, seperti mencuci atau membersihkan perabot rumah (Kvavilashvili & Mandler,2003). Dalam penelitian eksperimental mengenai efek TOT, partisipan disibukkan untuk mencari kata-kata khusus, sehingga hanya ada sedikit kesempatan terjadinya pemanggilan kembali informasi secara spontan.
Brown (1991) menyimpulkan tinjauannya mengenai kepustakaan TOT dengan memunculkan beberapa pertanyaan yang belum terjawab. Misalnya, apakah memanggil kembali kata-kata yang berkaitan menyebabkan kita akhirnya dapat mengingat kata target, ataukah justru hal tersebut menciptakan halangan terhadap kata target? Penelitian selanjutnya
mengindikasikan bahwa menggunakan kata-kata yang memiliki komponen fonologi yang sama dengan kata target dapat membantu kita mengingat kata target (James & Burke, 2000). "Berita 5.2" dapat menjelaskan hal ini secara mendetail.

Meningkatkan lngatan dan ldentifikasi saksi
Saya telah mencoba menggabungkan aspek teoretis dan aplikasi memori di bab ini. Tema tersebut berlanjut di bab ini dalam penjelasan mengenai kontribusi penelitian psikologis untuk meningkatkan ingatan dan identifikasi saksi mata. Dampak dari penelitian ini jelas diindikasikan dari survei yang dipublikasikan di American Psychologist (Kassin, Tubb, Hosch, & Memon, 2001). Dalam survei tersebut, 64 psikolog ditanyai mengenai pengalaman mereka di pengadilan dan opini mereka mengenai 30 topik saksi mata. Pertanyaan yang ditanyakan pada mereka, yaitu apakah mereka ( 1) berpikir bahwa bukti-bukti yang ada cukup dapat diandalkan bagi psikolog untuk memberikan testimoni, (2) akan bersedia untuk memberikan kesaksian dalam pengadilan mengenai topik ini, (3) mendasarkan opini mereka pada penelitian publik, dan (4) berpikir para juri percayabahwa pernyataan ini benar karena masuk akal.
Tabel 5.1 menunjukkan respons mereka terhadap tujuh topik tersebut. Hasilnya menunjukkan adanya rentang yang besar dalam persepsi terhadap reliabilitas penemuan. Hampir setiap orang percayabahwa mengajukan pertanyaan dapat memengaruhi kesaksian saksi mata, namun hanya22 persen ahli percaya bahwa pengalaman traumatis dapat ditekan bertahun-tahun dan kemudian dapat dipulihkan. Jelas pula bahwa penemuan penelitian ini sering kali tidak mendukung persepsi terhadap rasional. Misalnya, para ahli berpikir sebagian besarjuri berharap ketepatan tersebut terkait dengan tingkat kepercayaan saksi mata meskipun penelitian telah menunjukkan bahwatingkatkepercayaan bukanlah prediktor yang baik untuk ketepatan. Bagian berikut menyajikan beberapa detail penelitian ini. Meningkatkan Ingatan Saksi Mata Salah satu pertanyaan yang muncul di Tabel 5.1 adalah apakah hipnosis membarrtu orang mengingat informasi dengan akurat. Kurang dari setengah ahli percaya bahwa mendasarkan pada pengetahuan penelitian mereka adalah hal yang berguna. Meskipun sudah banyak kasus yang menyatakan hipnosis membantu para saksi untuk mengingat detail tambahan mengenai kejahatan, masalahnya adalah berhubungan dengan kegunaannya (M. E. Smith, 1983). Perhatian utamanya adalah bahwa dorongan oleh ahli hipnosis dapat membujuk saksi untuk melaporkan kesaksiannya dengan akurat. Sebagai contoh, pada salah satu penelitian menunjukkan 90 persen salsiyang terhipnosis mencoba untukmengingat angka pada kemeja dalam simulasi peristiwa kejahatan dibandingkan dengan kelompok kontrol yang hanya 20 persen dari subjek yang dapat mengingatnya (Buckhout, Eugenio, Licitra, Oliver, & Kramer, 1981). Tidak ada satu pun saksi yang dapat mengingat angka dengan benar. Kemungkinan ingatan saksi bisa jadi tidak akurat menyebabkan pengadilan menanyakan reliabilitas ingatan selama dihipnosis.
Masalah lain dalam evaluasi efektivitas hipnosis adalah bahwa keberhasilan mengingatm selama hipnosis mungkin tidak disebabkan oleh hipnosis itu sendiri. M. E. Smith (1983) mengidentifikasi kemungkinan penyebab lainnya, seperti pengujian terulang dan pembalikan konteks. Sebagaimana diindikasikan oleh penemuan Read dan Bruce (1982), pengujian terulang dapat menyebabkan ingatan tambahan. Oleh karena itu, ingatan yang lebih baik selama hipnosis mungkin akibat dari faka bahwa para saksi mencoba ingatan kedua dan ketiga yang mungkin akhirnya akan mengakibatkan saksi dapat mengingat lebih banyak detail tanpa hipnosis. Atau, ingatan yang lebih baik dapat diakibatkan oleh beberapa aspek dari prosedur seperti mendorong saksi untukmencoba mengembalikan lagi konteks peristiwa kejahatan (Malpass & Devine, 1981).
Untuk menentukan apakah instruksi pemanggilan kembali informasi kognitif sama efektifnya dengan hipnosis, Geiselman, Fisher, MacKinnon,  dan Holland (1985) meminta, baik subjekyang dihipnotis maupun tidakdihipnotis untukmengingat informasi mengenai simulasi peristiwa kejahatan. Subjek melihat sebuah film berdurasi empat menit tentang peristiwa kejahatan, dan dua hari kemudian mereka diwawancarai oleh anggota penegak hukum.
Subjek ditunjuksecara acakuntukmelakukan wawancara dalam tigakondisi. Wawancara standar mengikuti prosedur pertanyaan yang biasa diterapkan oleh penegak hukum, wawancara hipnosis melibatkan subjek yang dihipnotis untuk mengungkapkan kembali apa yang mereka ingat dari film, dan wawancara kognitif (cognitive interview) melibatkan penggunaan empat teknik pemanggilan kembali informasi-memori yang dapat mendorong subjek untuk mengembalikan konteks insiden, melaporkan segala sesuatunya, mengingat kejadian dalam urutan berbeda, dan mengingat insiden dari perspektif berbeda.
Baik prosedur kognitif maupun hipnosis dapat menghasilkan peningkatan ingatan terhadap item informasi secara signifikan daripada prosedur wawancara standar. Para penyelidik menghubungkan penemuan ini dengan teknik bimbingan-memori yang lazim untuk dua prosedur tersebut. Meskipun wawancara kognitif tidak menghasilkan ingatan yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan hipnosis, wawancara kognitif lebih mudah dipelajari dan lebih mudah administrasinya.
Aplikasi dari prosedur wawancara kognitif pada peristiwa kejahatan yang nyata juga memberikan hasil yang memberi harapan (R. P. Fisher, Geiselman, & Amador, 1989). Tujuh detek tif yang berpengalaman di Dade County, Florida, dilatih untuk menguasai prosedur ini. Sebelum dan sesudah pelatihan, eksperimenter merekam wawancara dengan korban dan saksi. Detektif tersebut berhasil memperoleh informasi 47 persen lebih banyak setelah pelatihan. Pada banyak kasus, terdapat lebih dari satu korban atau saksi, sehingga memungkinkan untuk menentukan apakah informasi yang diperoleh saling konsisten antarorang yang diwawancarai. Tingkat konsistensi yang tinggi menunjukkan bahwa informasi yang diperoleh memang akurat.
Hasil yang positif dari penelitian ini dan penelitian yang lain mengenai prosedur wawancara menyebabkan US Departmentof |ustice mengeluarkanpanduan nasional pertama untuk mengumpulkan bulti saksi mata pada tahun 1999 (Technical Working Group for Eyewitness Evidence, 1999). Para peneliti psikologi turut berpartisipasi dalam menulis panduan tersebut dan kemudian menulis mengenai kolaborasi mereka dengan departemen tersebut (Wells, Malpass, Linday, Fisher, Turtle, & Fulero, 2000). Analisis terhadap wawancara polisi mengungkapkan bahwa ada sejumlah kesalahan yang sebenarnya dapat dihindari yang meliputi (a) terlalu banyakbertanya dengan menggunakan pertanyaan tertutup, (b) sering menginterupsi saksi, dan (c) bertanya dengan urutan pertanyaan yang sudah ditentukan sebelumnya dan tidak fleksibel. Sebaliknya, prosedur baru yang direkomendasikan menyarankan wawancara dilakukan dengan langkah yang pelan dan sedikit bertanya, serta menggunakan pertanyaan terbuka. Direkomendasikan juga untuk menggunakan teknik pemanggilan kembali memori yang sudah disebutkan sebelumnya, seperti mengembalikan konteks dan mengingat kejadian dengan menggunakan jalur pemanggilan kembali informasi yang berbeda.

Identifikasi Saksi Mata
Alasan utama dibuatnya panduan nasional pengumpulan kesaksian saksi mata adalah adanya buki baru DNAyangpada beberapa kasus memperlihatkan bahwa orangyang tidakbersalah telah dijadikan tersangka. Tinjauan kembali terhadap kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa identifikasi saksi mata yang salah menjadi bukti utama pada 36 dari 40 tersangka (Wells, Malpas, Lindsay, Fisher, Turtle, & Fulero,2000).
Sebagaimana diindikasikan pada Tabel 5. 1, salah satu penemuan yang paling terpercaya menurut para ahli adalah bahwa foto wajah orang yang diduga penjahat menyebabkan saksi mata mengidentifikasi seseorang sebagai tersangka ketika kemudian melihat garis polisi. Salah satu masalah yang muncul dalam memutuskan apakah kita mengenali seseorang atau sesuatu adalah mengingat konteks ketika pertemuan sebelumnya terjadi (G. Mandlea 1980; Humphreys & Bain, 1983). Mandler (1980) memberikan sebuah contoh seseorang yangmelihat seseorang yang wajahnya tidak asing di sebuah bus, namun tidak yakin mengapa seseorang tersebut tampak tidak asing baginya. Pengenalan akan sempurna hanya jika orang tersebut dapat mengingat konteks yang sesuai tempat ia melihat orang tersebut sebelumnya, yaitu di supermarket tempat kerja seseorang tersebut.
Identifikasi saksi mata merupakan situasi ketika mengingat konteks sebuah informasi merupakan hal yang sangat penting. Identifikasi yang akurat tidak hanya bergantung pada kemampuan untuk mengenali sebuah wajah seseorang, namun juga pada kemampuan mengingat bahwa seseorang tersebut terlihat sedang melakukan kejahatan, bukan terlihat foto wajah orang yang diduga penjahat di koran, televisi, atau di kantor polisi. Kemungkinan bahwa salsi mata mampu mengenali sebuah wajah tanpa dapat mengingat dengan benar konteks kejadiannya terjadi di Pengadilan Tinggi Amerika Serikat pada kasus Simmons versus Amerika Serikat (390 U.S. 377,L968) (dikutip dari E. Brown, Deffenbacher, & Sturgill, 1977). Pengadilan mencatat adanya potensi efek bias yang disebabkan saksi mata satu kali melihat foto wajah orang yang diduga penjahat atau menunjukkan foto wajah orang yang diduga penjahat yang menekankan pada salah satu tersangka. Berpegang pada efek bias tersebut dapat mengakibatkan kekeliruan jika sa}si mata sebenarnya hanya melihat tersangka secara sekilas atau melihat tersangka secara s.rmar-samar saja (Buckhout, 1974).
Brown, Deffenbacher, dan Sturgill (L977) meneliti kemungkinan adanya efek bias yang dapat terjadi selama saksi mata melakukan identifikasi. Dua orang pria disuruh mengikuti ujian tengah semester di sebuah kelas; anggota kelas tersebut tidak diberi tahu bahwa mereka akan diminta untuk mengidentifikasi dua orang tersebut. Foto wajah orang yang diduga penjahat diperlihatkan pada anggota kelas tersebut 2 atau 3 hari setelah ujian dan sekelompok orang yang dikumpulkan poksi (lineup) terjadi 4 atau 5 hari setelah siswa melihat foto wajah orang yang diduga penjahat. Meryrajikan sebuah foto wajah orang yang diduga penjahat menyebabkan orang yang berada pada sekelompok orang yang dikumpulkan polisi tersebut cenderung diidentifikasi bahwa ia telah mengikuti ujian.
Identifikasi yang salah terjadi karena orang yang diidentifikasi terlihat sangat familier sebagai sebuah hasil bahwa wajah orang tersebut berada di antara foto wajah orang yang diduga penjahat. Akan tetapi, sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, keberhasilan mengenali sering kali bergantung pada keberhasilan mengingat konteks khusus sebagai tambahan atas penilaian terhadap ketidakasingan wajah tersebut bagi seseorang. Walaupun eksperimen ini tidak berpura-pura meniru apa yang dihadapi saksi mata pada peristiwa kejahatan yang sesungguhnya, mereka menyarankan agar diberikan perhatian besar pada materi apa yang diperlihatkan pada saksi yang harus membuat keputusan akhir mengenai tersangka kriminalitas.
Contoh lain mengenai kemungkinan terjadinya efek bias pada sekelompok orang yang dikumpulkan polisi adalah adanya isyarat tidak sengaja dari peneliti, seperti bahasa tubuh atau intonasi suara, dapat menurunkan reliabilitas identifikasi saksi mata. Psikolog yang bertindak sebagai penasihat dalam penulisan panduan nasional menduga kuat bahwa orang yang mengatur sekelompok orang yang dikumpulkan polisi tidak menyadari orang rnana di kelompoktersebut yang menjadi tersangka (Wells, Malpass, Lindsay, Fisher, Turtle, & Fulero, 2000). Rekomendasi ini tidak dipakai, namun diidentifikasi sebagai perubahan prosedural untuk penelitian di masa depan.

Tes Memori Tidak langsung
Tes-tes tradisional, seperti pengenalan dan mengingat, bukan satu-satunya cara untuk menilai memori seseorang. Lihat sejenak pada fragmen kata pada Figur 5.5. Dapatkah Anda mengidentifikasi kata tersebut? Orang biasanya lebih mampu mengidentifikasi fragmen kata yang sulit jika fragmen tersebut sudah ditunjukkan sebelumnya pada daftar kata yang memuat jawaban fragmen tersebut (seperti kata METAL pada contoh berikut). Fakta bahwa daftar tersebut berguna menunjukkan bahwa orang memiliki memori beberapa kata di daftar tersebut, mengindikasikan bahwa tugas ini dapat digunakan sebagai tes memori.
Anda mungkin merasa bahwa tes memori ini kurang bersifat langsung dibandingkan tes mengingat dan mengenali yang sudah kita diskusikan di bagian sebelumnya. Tes mengingat dan mengenali disebut sebagai tes memori langsung (direct memory test) karcna tes-tes tersebut mengacu pada kejadian tertentu yang dialami seseorang di masa lalu. Petunjuknya adalah meminta orang untuk mengingat atau mengenali kejadian yang terjadi sebelumnya, sehingga tes ini mengukur memori eksplisit (explicit memory). Sebaliknya, instruksi dalam tes memori tidak langsung (indirect memory test) hanya mengacu pada tugas saat ini dan tidak mengacu pada kejadian sebelumnya (Richardson-Klavehn & Bjork, 1988). Orang melakukan tugas fragmen-kata hanya dengan mengidentifikasi kata, bukan menilai apakah kata tersebut telah mereka lihat sebelumnya selama eksperimen. Oleh karena itu, tes tidak langsung mengukur memori implisit (implicit memory)
Salah satu alasan kita membedakan antara dua tipe tes ini adalah bahwa apa yang kita pelajari mengenai memori seseorang bergantung pada bagaimana kita mengetesnya. Poin ini secara menarik diilustrasikan dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Warrington dan Weiskrantz (L970) di National Hospital di London. Mereka membandingkan pasien yang menderita amnesia berat dengan pasien kontrol yang hampir sama dalam hal usia dan inteligensi. Pembandingan meliputi empat tes memori untuk daftar kata. Tes mengingat menuntut pengingatan verbal suatu kata. Tes pengenalan memori menuntut keputusan ya atau tidak berkaitan dengan apakah sebuah kata ada di daftar tersebut. Tes fragmen kata menuntut identifikasi suatu fragmen kata. Kata yang benar muncul di daftar, dan fragmen tersebut sulit diidentifikasi jika subjek belum melihat daftar kata tersebut sebelumnya. Tes huruf-awalberisi tiga huruf pertama sebuah kata yang muncul di daftar, dan subjek harus menyebutkan sebuah kata yang diawali dengan 3 huruf tersebut.
Subjek yang menderita amnesia secara signifikan lebih buruk dibandingkan dengan kelompok kontrol, baik pada tes mengenali maupun tes mengingat. Akan tetapi, tidakberbeda
dengan kelompok kontrol dalam tes fragmen-kata atau tes huruf-awal. Mereka hampir sama dengan kelompok kontrol dalam keberhasilan menggunakan kata-kata yang sudah mereka lihat dalam daftar kata. Sedikitnya perbedaan kedua tes ini terjadi meskipun pasien amnesia sering kali tidak dapat mengingat bahwa mereka sudah pernah melihat daftar kata dan melakukan tes tersebut seperti permainan tebak-tebakan (Warrington & Weiskrantz,1968). Namun, pengaruh daftar kata pada jawaban mereka mengindikasikan bahwa mereka masih memiliki memori kata-kata dalam daftar tersebut.

Teori Pemrosesan
Perbedaan performa antara tes memori langsung dan tidak langsung telah mendorong banyak penelitian mengenai bagaimana kedua tes tersebut berbeda (Tabel 5.2). Salah satu pendekatan teoretis menekankan pada tuntutan Pemrosesan yang berbeda dari tes tersebut.
Sebuah contoh pendekatan ini (facoby & Dallas, 1981) membangun teori dua-proses mengenai memori pengenalan (recognition memory) G. Mandler (1930). Menurut teori ini, memori pengenalan menuntut, baik sebuah penilaian terhadap kefamilieran maupun usaha untuk memanggil kembali konteks ketika item terjadi. Jacoby dan Dallas menyatakan bahwa komponen kefamilieran dari teori ini juga berlaku pada tes memori tidaklangsungyang secara khas menuntut identifikasi secara persepsi. Pengalaman sebelumnya dengan materi tersebut membuat materi tersebut lebih familier dan lebih mudah untuk melakukan identifikasi dalam situasi yang sulit dipersepsi. Akan tetapi, dasar kedua untuk memori pengenalan-pemanggilan kembali mengenai kapan dan di mana suatu item terjadi-tidak perlu berhasil dalam tes tidak langsung karena tes seperti ini tidak membutuhkan memori terhadap konteks khusus.
Rumusan ini secara tersirat menunjukkan bahwa mengubah kefamilieran item-item tersebut dapat memengaruhi performa pada tes pengenalan-memori dan tes identifikasipersepsi. Jacoby dan Dallas memanipulasi pemahaman yang baik dengan menyajikan materi penelitian dalam metode yang sama (presentasi visual) atau dalam suatu metode yang berbeda (presentasi auditori) dengan materi tes. Seperti yang diprediksi, mengubah metode menyebabkan materi tes kurang familier dan menyebabkan performa yang menurun pada tugas pengenalan-memori dan tugas identifikasi-persepsi.
Sebaliknya, variabel yang membantu subjek menentukan pada konteks apa mereka melihat suatu kata hanya meningkatkan performa pada tugas pengenalan-memori. Prediksi ini diuji dengan memanipulasi apakah subjek membaca suatu daftar (seperti METAL) atau menyelesaikan kata-kata tersebut dari anagram (EMTLA). Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa lebih mudah mengingat kata mana yang terdapat dalam suatu eksperimen jika subjek menghasilkan kata tersebut dari anagram bukan hanya membaca kata tersebut. Seperti yang diprediksi, menghasilkan kata-kata tersebut meningkatkan performa pada tugas pengenalan-metrnori, namun tidak meningkatkan performa dalam tugas identifikasi-persepsi yang tidak memerlukan memori terhadap konteks kata-kata yang disajikan.
Penjelasan Jacoby dan Dallas merupakan contoh bagaimana pengukuran memori secara langsung dan tidak langsung dapat diperbandingkan berdasarkan proses apa yang  dibutuhkan untuk melakukan tugas tersebut. Elaborasi materi dengan menghasilkan kata dari anagram membantu orang dalam tes mengingat dan mengenali, sedangkan meningkatkan kefamilieran materi memengaruhi performa pada tugas pengenalan-memori d.an tugas identifikasi-persepsi.
Rumusan yangl ebih umum daripendekatan ini mengklaim bahwates memori langsung utamanya digerakkan secara konseptual, sedangkan tes memori tidak langsung utamanya
digerakkan oleh data (Schacter, 1987; Richardson-Klavehn & Bjork, 1988). Proses yang digerakkan secara konseptual (conceptually driven processes) mencerminkan aktivitas yang dimulai subjek, seperti mengelaborasi dan mengelola informasi. Proses-proses seperti ini membantu orang dalam tes mengingat dan pengenalan. Proses yang digerakkan data (data-driven processes) dimulai dan diarahkan oleh informasi persepsi dalam materi seperti kefamilierannya. Akan tetapi, pembedaan ini tidak terbatas satu sama lain. Sebagaimana telah kita ketahui, tes pengenalan-memori dipengaruhi oleh kedua jenis proses tersebut. Namun, proses yang digerakkan data lebih banyakterdapat pada tes tidaklangsung daripada tes pengenalan-memori. Oleh karena itu, perubahan metode menyebabkan gangguan yang lebih besar pada tes tidak langsung seperti identifikasi fragmen kata dibandingkan pada tes langsung seperti tes pengenalan memori (Schactea 1987).

Memori Ganda
Argumentasi alternatif bahwa tes memori mengukur proses yang berbeda adalah argumen bahwa tes memori mengukur memori yang berbeda (Schacter, 1987). Pandangan ini mengklaim bahwa LTM bukanlah sistem kesatuan tunggal, namun terdiri atas beberapa subsistem yang berbeda. Akan tetapi, penting untuk mengenali bahwa argumen untuk memori yang berbeda tidak otomatis menunjukkan bahwa argumen untuk proses yang berbeda adalah tidak benar. |ustru seorang pendukung utama sistem memori yang berbeda berpendapat bahwa dua pendekatan tersebut saling melengkapi (Ttrlving, 2002). Para teoretikus dapat menjelaskan perbedaan performa dengan cara mengidentifikasi perbedaan proses ataupun dengan mengidentifikasi perbedaan memori menurut pandangan ini.
Salah satu bagian utama LTM dalam subsistem yang terpisah meliputi pembedaan antara memori episodik dan memori semantik (Tulving,1972,1985,2002). Memori episodik (episodic memory) mengandung memori pengalaman personal yang tertanggal secara sementara. Memori ini menyajikan rekaman mengenai apayang sudah dilakukan seseorang; seperti saya makan ayam saat makan malam tadi malam, saya menerima gelar Ph.D., pada tahun 1970, dan saya melihat wajah orang tertentu ketika melihat foto wajah orang yang diduga penjahat. Memori semantik (semantic memory) mengandung pengetahuan umum yang tidak berhubungan dengan waktu dan konteks tertentu. Misalnya, saya tahu bahwa kenari adalah seekor burung, Chicago ada di lllinois, dan jumlah 7 ditambah 8 adalah 15. Oleh karena itu, memori episodik lebih bersifat autobiografi; memori ini mengandung jenis  informasi yang dapat saya catat dalam sebuah buku harian yang detail. Informasi semantik lebih bersifat umum dan mengandung jenis informasi yang dapat saya catat dalam sebuah ensiklopedia.
Menurut pembedaan ini, tes memori langsung yang membutuhkan mengingat atau mengenali materi yang terjadi lebih dulu dalam eksperimen, mengukur memori episodik. Subjek diminta untuk mengingat item (seperti suatu daftar kata) dari suatu waktu dan tempat tertentu. Tes memori tidak langsung, seperti identifikasi kata atau melengkapi kata, mengukur memori semantik. Tes-tes ini hanya bergantung pada pengetahuan umum kita mengenai kata-kata dan tidak menuntut kita menghubungkan kata-kata tersebut dengan waktu dan tempat tertentu. Penemuan bahwa pasien penderita amnesia mengerjakan tes tidak langsung dengan lebih baik daripada tes langsung telah digunakan sebagai bukti untuk rnembedakan antara memori episodik dan memori semantik. Menurut pendapat ini, amnesia dapat memengaruhi memori episodik, namun tidak memengaruhi memori semantik. Akan tetapi, kritikus pembedaan memori episodik/semantik menyatakan bahwa penjelasan ini kurang populer daripada kenyataan bahwa tes tidak langsung berbeda dari tes langsung karena tes tidak langsung lebih. bergantung pada memori prosedural (McKoon, Ratcliff, & Dell, 1986). Memori prosedural (procedural memory) adalah memori untuk tindakan-tindakan, keterampilan, dan proses, sedangkan memori episodik dan semantik berkaitan dengan informasi faktual. Informasi faktual kelihatannya lebih rentan terhadap lupa dibandingkan dengan informasi prosedural sebagaimana dibuktikan oleh pasien amnesia yang mengalami kesulitan mengingat faktafakta, namun tidak mengalami kesulitan mempelajari dan mempertahankan keterampilan motorik (Warrington & Weiskrantz, 1970).
Meskipun saya tidak dapat mengingat karena menderita amnesia, saya masih dapat mengingat suatu kejadian ketika memori prosedural saya lebih utuh daripada memori saya mengenai fakta-fakta. Saya belajar mengetik di sekolah menengah atas dan masih mengetik saat kuliah, namun saya bergantung penuh pada sekretaris saat saya jadi anggota fakultas. Ketika kemudian saya memutuskan untuk mencoba program pemrosesan kata, saya memulai dengan mencoba mengingat di mana keberadaan tombol-tombol di keyboard, namun saya malah tidak dapat mengingat sebagian besar tombol-tombol tersebut. Akan tetapi, ketika saya
mencoba untuk menggunakan keyboard,saya mengingat bagaimana menggerakkan jari-jari saya dengan benar. Saya dapat mengingat prosedur mengetik yang benar meskipun saya tidak mampu mengingat lokasi tombol-tombol tersebut.
Kesimpulannya, baik teori proses maupun teori memori ganda menawarkan usulan untuk menjelaskan bagaimana tes memori langsung berbeda dari tes memori tidak langsung (Roediger, 1990). Tes langsung, seperti mengingat dan pengenalan, digerakkan secara konseptual dan dipengaruhi oleh strategi yang dimulai subjek seperti secara aktif menghasilkan item-item selama fase penelitian. Sebaliknya, tes tidak langsung, seperti tes fragmen kata dan tes huruf-awal, digerakkan oleh data. Tes-tes ini dipengaruhi oleh kefamilieran materi, termasuk pengubahan metodenya. Tes-tes langsung mengukur memori episodik ketika orang mengingat informasi kejadian khusus di masa lalu mereka. Tes tidak langsung mengukur memori prosedural ketika orang tidak diinstruksikan untuk mengacu kembali pada masa lalu.

Struktur Otak
Performa yang menurun pada penderita amnesia dalam tes memori langsung dan performa mereka yang relatif normal dalam tes memori tidak langsung mendorong penelitian mengenai pembentukan memori secara biologis. Apakah kerusakan pada bagian khusus otak menyebabkan menurunnya performa pada pasien amnesia dalam tes-tes memori eksplisit, sedangkan daerah otak yang lain bertanggung jawab terhadap performa dalam tes memori implisit? Penelitian yang dilakukan oleh Larry Squire dan koleganya pada Veterans Affairs Medical Center di San Diego mendukung gagasan bahwa memori bukanlah kesatuan tunggal, namun terdiri atas beberapa kesatuan terpisah yang bergantung pada sistem otak yang berbeda (Squire &Zola,1996).
Figur 5.7 menunjukkan sebuah taksonomi sistem dalam LTM, bersama struktur khusus otak yang terlibat setiap sistem (squire & knowlton,1994). Penelitian menunjukkan

bahwa performa buruk pasien amnesia pada tes memori eksplisit disebabkan oleh kerusakan pada formasi hipokampus di lobus temporal tengah. Sebaliknya, pasien amnesia memberikan performa normal pada mac:rm-macam tes yang tidak melibatkan lobus temporal tengah. Sebagaimana ditunjukkan pada Figur 5.7, tugas-tugas ini bergantung pada bermacam-macam sistem otak yang tetap utuh pada amnesia.
Kita mulai bagian ini dengan membandingkan performa buruk pasien amnesia pada tes mengingat dan tes pengenalan dengan performa bagus mereka pada tes fragmen kata yang bergantung pada memori implisit kata-kata (Warrington & Weiskr antz, 1970). Performa baik
pada tes fragmen kata adalah sebuah contoh priming. Priming mengacu pada pemudahan kemampuan untuk mendeteksi atau mengidentifikasi stimulus dengan menggunakan informasi sebelumnya. Sebagaimana dituniukkan pada Figur 5.7, ini adalah salah satu tipe memori implisit.
Tipe lain memori implisit adalah keterampilan dan prosedur yang dipelajari. Kita telah mengetahui bahwa teori memori ganda mengklaim bahwa tes tidak langsung mengukur memori prosedural, serta taksonomi Squire dan Knowlton ( 1994) konsisten dengan klaim ini. Sebuah contoh keterampilan yang bergantung pada memori prosedural adalah peningkatan kecepatan membaca yang terjadi ketika membaca kembali halaman yang sama. Musen, Shimamura, dan Squire (1990) meneliti peningkatan kecepatan membaca, baik pasien penderita amnesia maupun mereka yang tidak menderita amnesia dan menemukan bahwa pasien amnesia meningkat kecepatannya sama halnya dengan orang yang tidak menderita amnesia ketika membaca kembali halaman tersebut. Akan tetapi, pasien amnesia sangat mencolok kelemahannya dalam menjawab pertanyaan pilihan ganda mengenai isi halaman bacaan tersebut. Sekali lagi, tidak ada perbedaan antara kelompok dalam tes memori tidak langsung (keterampilan membaca yang meningkat), namun terdapat perbedaan besar dalam tes memori langsung (pilihan ganda).
Tipe lain dari memori implisit adalah pengondisian klasik sederhana dan pembelajaran refl eks. Macam-macam tipe memori implisit ini menggambarkan bermacam cara pengalaman kita dapat mengubah performa kita tanpa mengubah isi memori sadar (Squire & Zola, I997).Performa berubah karena adanya pengalaman, sehingga memori dilibatkan, narnun perubahan ini terjadi tanpa disertai pengertian bahwa memori sedang digunakan. Tentu saja, hal ini sangat berbeda dari tes memori langsung di mana kita sangat sadar bahwa memori kita sedang dievaluasi.