Psikologi Perkembangan
Kognitif
oleh:
AHMAD
RUSTAM (G2 I1 12 008)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
PROGRAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
HALUOLEO
KENDARI
2013
MEMORI JANGKA PANJANG
Bagaimana
jadinya hidup ini jika tidak memiliki memori jangka panjang (long-term
memory-LTM) yang berfungsi normal? Film Memento menyediakan sebuah jawaban.
Film tersebut berkisah mengenai seorang pria yang mendapat serangan brutal bersama
istrinya, sehingga ia tidak dapat menyimpan kejadian-kejadia baru dlaam LTM.
Ambisi hidupnya adalah untuk membalas dendam pada orang yang menyerangnya. Ia
mencoba memfungsikan ingatannya dengan mengambil gambar dari dunianya melalui
kamera polaroid-mobilnya, motelnya, teman-temannya, musuh-musuhnya. Catatan
pada gambar tersebut dan tato dibadannya bertindak sebagai memori eksternal
kehidpannya saat ini. Penonton ikut merasakan kesulitan pria tersebut, ketika
baik pria ini maupun penonton harus menggunkan kilas baik untuk mencoba
mengetahui kehidupan. Saya merekomendasikan film ini untuk anda tonton, namun
saya harus melihatnya dua kali untuk
dapat memahami ceritanya.
Meskipun
bagi kita sulit unutk membayangkan perjuangan seseorang yang mengalami kerusakan
memori, kita semua iri pada seseorang yang memiliki memori eksternal yang
sangat bagus dan berharap kita dapat
meningkatkan memori kita sendiri. Bagi mahasiswa, harapan ini terutama
ditujukan saat mereka menghadapi ujian. Jika saja kita dapat mengingat segala
sesuatu yang telah kita pelajari, kita dapat melakukannya dengan jauh lebih
baik. Kebutuhan untuk mengingat materi setelah ujian kelihatannya kurang
mendesak, namun bahkan dalam kasus ini, memori yang bagus tetap dapat
menguntungkan.
Salah
satu pertanyaa yang sering ditanyakan oleh para mahasiswa sebelum saya
memberikan ujian kognisi pertama saya disetiap semester adalah mengenai
pentingnya mengingat nama. Mahasiswa percaya bahwa nama merupakan sesuatu yang
menantang untuk diingat, dan ada beberapa ada bukti yang membenarnya hal ini.
Mahsiswa yang telah menyelesaikan kuliah psikologi kognitif di universitas
terbuka di Inggris, diuji kemampuan mereka dalam mengingat nama dan konsep
namun setelah jangka waktu retensi antara 3 sampai 125 bulan (Conway, Cohan,
& Stanhope, 1991). Pertanyaan-pertanyaan merupakan pertnayaan untuk mengisi
titik-titik dengan nama atau konsep yang hanya disajikan huruf awalnya saja. Misalnya, E_adalah psikologi jerman pertama yang mengkaji pembelajaran mengenai
suku kata yang tidak masuk akal. Dalam hambatan p_lupa disebabkan oleh
interferensi dari pembelajaran sebelumnya.
Figur
5. 1 menunjukkan hasil penelitian tersebut. Selama 3 tahun pertama, nama-nama
cenderung lebih cepat terlupakan daripada konsep. Akan tetapi, antara 3-10
tahun, ingatan sama-sama terhenti pada level yang sama untuk kedua pengetahuan
tersebut. Hal yang menonjol adalah penemuan bahwa setelah 10 tahun, orang masih
tetap dapat mengingat lebih dari 25 persen materi.
Salah
satu cara terbaik untuk mengingat materi sepanjang hidup kita adalah dengan meluangkan waktu untuk mempelajarinya
(Bahrick & Hall, 1991). Mahasiswa yang mengambil kuliah matematika pada
level kalkulus atau di atasnya biasanya mampu mengingat dengan sangat baik
mengenai aljabar yang dipelajari di sekolah mengenai atas selamanya hampir 50
tahun. Prestasi mahasiswa yang sama-sama mempelajari aljabar dengan baik di
sekolah menengah atas, namun tidak mengambil kuliah matematika, menurun sampai
pada level berisiko dalam jangka waktu yang sama. Secara mengejutkan, ukuran
akademik seperti skor dan peringkat Scholastic
Aptitude Test (SAT) hanya memiliki dampak yang kecil terhadap ingatan
(Bahrick & Hall, 1991; Semb & Ellis, 1994).
Untuk
menjaga informasi dalam jangka waktu panjang, kita harus mengeluarkan informasi
tersebut dari memori jangka pendek (short
term memori-STM) dan memasukkannya ke dalam penyimpanan yang lebih permanen
yang disebut memori jangka panjang (long term memry-LTM). Bab ini membahas
beberapa penelitian mengenai LTM-seperti bagaimana memasukkan informasi ke
dalam LTM dan bagaimana mengujinya. Bagian pertama bab ini menggambarkan
beberapa cara agar informasi dapat ditransfer dari penyimpanan sementara (STM)
ke penyimpanan yang lebih permanen (LTM). Kita mulai dengan membahas karakteristik
dasar LTM, termasuk strategi pembelajaran. Sebagian besar hal yang sudah kita
ketahui dari topik ini dibahas di makalah penting yang ditulis Atkinson dan Shiffrin yang diterbitkan tahun 1968. Penulis makalah
tersebut mendiskusikan beberapa strategi yang dapat memfasilitasi proses
belajar, namun mereka beberapa terutama mempelajari mengenai pengulangan
verbal. Mereka berasumsi bahwa setiap kali sebuah item diulang, maka informasi
mengenai item tersebut dimasukkan ke dalam LTM. Strategi lainnya yang
memengaruhi pembelajaran adalah alokasi waktu belajar yang menuntut penilaian
ketika sebuah hal dipelajari dengan cukup baik, maka tidak perlu dipelajari
lagi.
Para
psikologi juga tertarik untuk mengetahui bagaimana orang memanggil kembali
informasi setelah disimpan di LTM. Langkah awalnya adalah memutuskan apakah
informasi tersebut berada di LTM. Jika kita memutuskan iya, langkah kita
berikutnya adalah memilih suatu rencana untuk memanggil kembali informasi
tersebut jika kita tidak dapat mengingatnya lagi dengan segera. Mengingat suatu
informasi yang relevan biasanya merupakan hal yang
penting,
bahkan pada tugas pengenalan kembali karena mengenal sebuah kejadian atau
seseorang sering kali tidaklah cukup—kita biasanya perlu untuk mengetahui
informasi tambahan. Setelah mendiskusikan beberapa aspek teoritis mengenai
mengingat dan mengenali kembali, saya akan mengaplikasikan ide-ide tersebut
pada ingatan saksi mata dan identifikasi tersangka.
Tes
mengingat dan mengenali kembali merupakan tes memori secara langsung yang
instruksinya secara khusus mengacu pada materi yang disajikan sebelumnya
seperti ketika anda mengikuti ujian. Sebaliknya, tes memori tidak langsung
menentukan apakah meteri yang disajikan sebelumnya membantu orang untuk melakukan
dengan lebih baik pada tugas yang tidak mengacu pada materi yang disajikan
sebelumnya, seperti mengidentifikasi kata-kata yang terdegradasi ketika
kata-kata tersebut sebelumnya sudah diperlihatkan. Pasien dengan gangguan
memori sering kali menyelesaikan tes memori langsung sama baiknya seperti orang
dengan memori normal. Kita akan lihat beberapa teori mengenai efek tersebut
pada bagian akhir bab ini. Namun, pertama-tama mari kita ke dasar, ke model
yang dipresentasikan oleh Atkinson dan Shiffrin yang diperlihatkan pada Figur
4.1 (halaman 70).
Model
Atkinson-Shiffrin
Mentaransfer Informasi dari Memori Jangka Pendek ke
Memori Jangka Panjang
Treori
yang diajukan oleh Atkinson dan Shiffrin (1968, 1971) menekankan pada interaksi
anatar STM dan LTM. Mereka secara khusus tertarik pada bagaimana orang dapat
mentrasfer informasi dari STM ke LTM. Memori jangka panjang memiliki dua
manfaat penting. Pertama, sebagaimana kita ketahui, kecepatan lupa jatuh lebgih
rendah untuk LTM. Beberapa psioilogi bahkan menyatakan bahwa informasi dalam
LTM tidfak pernah hilang meskipun kita kita kehilangan kemampuan untuk
memanggil kembali informasi tersebut. Apakah informasi hilang atau tidak munkin
ditemukan bukanlah hal yang signifikan secara praktis, namun jika kita tahu
bahwa informasi tersebut tetap terdapat di dalam memori, kita dapat berharap
bahwa kita akan menemukannya suatu saat. Perbedaan lain antara STM dan LTM
adalah bahwa LTM memiliki kapasitas yang tidak terbatas. Meskipun kita lihat di
bab sebelumnya bahwa ada batas jumlah informasi yang dapat kita pertahankan
dalam STM, kita tidak akan pernah tahu sampai titik mana kita tidak dapat
mempelajari informasi baru karena penuhnya LTM.
Meskipun
demikian, tidaklah selalu mudah memasukkan informasi baru ke dalam LTM.
Atkinson dan Shiffrin mengajukan beberapa proses kontrol yang dapat digunakan
sebagai usaha untuk mempelajari informasi baru. Proses kontrol (kontrol
process) adalah strategi yang digunakan seseorang untuk memfasilitasi
perolehan pengetahuan. Strategi tersebut meliputi strategi akuisisi terhadap pengulangan, pengodean, dan membuat
gambaran.
Pengulangan
(rehearsal) merupakan repetisi
informasi—baik dengan keras maupun lirih—secara terus-menerus hingga informasi
tersebut berhasil dipelajari.
Pengodean
(coding) berusaha menempatkan informasi agar dapat
diingat dalam konteks informasi tambahan yang mudah diingat, seperti frase atau
kalimat mnemonic. Misalnya, kebanyakan
kita mempelajari bahwa garis kunci nada suara sopran adalah E, G, B, D, F
dengan mengingat kalimat “Every good boy
does fine”.
Membuat
gambaran (imaging) meliputi
menciptakan gambaran visual untuk mengingat informasi verbal. Strategi ini
merupakan trik memori lama—bahkan trik ini direkomendasikan oleh Cicero di
Romawi Kuno untuk mempelajari daftar yang panjang atau pidato.
Daftar
di atas dapat dikembangkan lebih lanjut, namun pengulangan, pengodean, dan
membuat gambaran merupakan tiga cara utama dalam mempelajari sesuatu. Karena
ada banyak proses kontrol yang dapat dipelajari, Atkinson dan Shiffrin (1968) memutuskan untuk memfokuskan
penelitian mereka hanya pada satu cara saja—pengulangan verbal.
Pengulangan
Verbal dan Pembelajaran
Pengulangan
verbal biasanya dianggap sebagai suatu bentuk pembelajaran dengan sistem hafal (rote learrning) karena melibatkan pengulangan informasi secara
terus-menerus sampai kita pikir sudah berhasil mempelajarinya. Pengulangan
verbal berguna ketika materi yang dipelajari agak abstrak yang akan sulit
dengan menggunakan strategi pengodean atau membbuat gambaran. Tugas yang
didesain oleh Atkinson dan Shiffrin (1968) menuntut pembelajaran materi yang
abstrak dan tidak bermakna, sehingga mendorong subjek untuk menggunakan
pengulangan.
Mahasiswa
tingkat akhir dalam eksperimen tersebut mencoba mempelajari asosiasi antara
suatu angka dua digit (sebagai stimulus) dan sebuah huruf (sebagai respon).
Asosiasi berpasangan meliputi item-item, seperti 31-Q, 42-B dan 53-A. Masing-masing
pasangan diperlihatkan selama 3 detik, berselang 3 detik sebelum percobaan
berikutnya. Percobaan penelitian ini diselingi dengan percobaan tes yang
manyajikan hanya angka dua digit saja dan subjek diminta untuk menambahkan
huruf yang sebelumya merupakan pasangan angka tersebut. Salah satu variabel
dalam eksperimen ini adalah angka percobaan yang terjadi antara percobaan
penelitian dan percobaan tes. Beberapa asosiasi diujikan dalam percobaan
berikutnya dan beberapa yang lain diujikan setelah jeda yang lamanya hampir
sama dengan 17 percobaan.
Atkinson
dan Shiffrin menginterpretasikan data dari eksperimen ini dengan mengajukan
sebuah model yang menggunakan pengulangan verbal untuk mempelajari asosiasi
tersebut. Mereka berasumsi bahwa mahasiswa mempertahankan jumlah yang pasti
dari item dalam STM dan bahwa item-item tersebut diulang setiap kali mahasiswa
tidak sedang melihat item baru atau sedang merespons selama percobaan tes.
Pengaruh dari pengulangan adalah untuk mentrasfer informasi mengenai item
tersebut ke dalam LTM. Tingkat pembelajaran bergantung pada berapa lama sebuah
pasangan tertentu dipertahankan dalam perangkat pengulangan. Atkinson dan
Shiffrin menyatakan bahwa pembeajran meningkat sebagai fungsi jumlah percobaan
selama dilakukan pengulangan terhadap item. Ketika item tidak lagi diulang,
maka informasi mengenai item tertentu menurun sejalan dengan disajikannya iten
berikutnya dalam penelitian. Oleh karena itu, prediksi peluang jawaban jawaban
yang benar bergantung pada jumlah percobaan ketika item diulang dan jumlah
percobaan pengganggu yang terjadi di antara waktu item meninggalkan perangkat
pengulangan dan percobaan tes.
Dalam
contoh ini, sebuah item telah diulang, namun tidak berada dalam STM pada waktu
tes. Jika item tersebut telah diulang, namun tidak lagi berada dalam STM,
jawabannya harus dipanggil kembali dari LTM. Kemunkinan kedua adalah bahwa item
tersebut diulang dan masih tetap aktif dalam STM. Kemunkinan ketiga adalah item
tersebut tidak diulang sama sekali. Karena model Atkinson berasumsi bahwa hanya
sejumlah aitem yang terbatas yang dapat dipertahankan dalam perangkat pengulangan,
mengulang sebuah item baru akan dilakukan dengan konsekuensi menghilangkan
salah satu item yang sudah ada dalam perangkat. Atkinson dan Shiffrin
menyatakan bahwa item yang tidak diulang dapat dijawab dengan benar hanya jika
segera diuji dalam percobaan setelah disajikan.
Pengulangan
dan Efek Posisi Serial
Sebuah
cara yang mudah untuk menguji pertanyaan yang menyatakan bahwa pengulangan
verbal menghasilkan pembelajaran adalah dengan meminta seseorang untuk
mengulang dengan suara keras. Eksperimenter kemudian dapat menghitung waktu
pengulangan setiap item dan menentukan apakah peluang mengingat sebuah item
berhubungan dengan jumlah pengulangan. Sebuah tugas didesain oleh Rundus (1971)
persis dengan tipe ini. Rundus menyajikan daftar 20 kata benda kepada mahasiswa
tingkat akhir di Standford. Kata-kata tersebut disajikan satu kali selama 5
detik untuk setiap item. Rundus menginstruksikan
Mahasiswa
untuk mempelajari kata tersebut dengan cara mengulang dengan suara keras selama
interval waktu 5 detik. Mereka bebas mengulang kata mana pun yang mereka
inginkan sepanjang mereka melakukan pengulangan tersebut dalam waktu 5 detik.
Setelah penyajian daftar kata tersebut, mahasiswa mencoba mengingat kata-kata
tersebut secara berurutan.
Figur
5.2. menunjukkan hasil eksperimen tersebut. Peluang mengingat sebuah kata
bergantung pada posisi kata tersebut dalam daftar. Kata-kata yang berada di
permulaan dan kata-kata yang berada di akhir daftar lebih mudah diingat
daripada kata-kat yang berada di tengah daftar. Bentuk U dari kurva ingatan
yang disebut efek posisi serial (serial position effect) sering kali
diperoleh dalam eksperimen ingatan. Ingatan yang lebih baik terhadapkata-kata
di permulaan daftardisebut efek primer (primary
effect), sedangkan ingatan yang lebih baik terhadap kata-katadi akhir
daftar disebut efek kekinian (recency
effect).
Kurva
di atas yang menunjukkan jumlah waktu pengulangan setiap kata mengilustrasikan
bahwa kata-kata pada permulaan daftar diulang lebih sering daripada kata-kata
lainnya. Hal ini karena terdapat waktu untuk mengulang beberapa kata antara
item dalam daftar, dan item di awal daftar adalah satu-satunya item yang ada
untuk diualng di permulang. Hubungan antara kurva pengulangan dan mengingat
menunjukkan bahwa efek primer dapat dijelaskan oleh teori Atkinson dan
Shiffrin. Karena huruf-huruf awal diulang lebih sering daripada huruf lainnya,
huruf-huruf tersebut harus memiliki
peluang lebih besar untuk dipanggil kembali dari LTM. Penjelasan ini
secara tidak langsung menyatakan bahwa efek primer seharusnya hilang jika semua
huruf dalam daftar sama-sama sering kali diulang. Faktanya, ketika subjek
diinstruksikan untuk mengulang setiap huruf dengan frekuensi yang sama dengan
cara hanya mengulang kata-kata yang ditampilkan, efek primer menghilang
(Fischler, Rundus & Atkinson, 1970).
Meskipun
jumlah pengulangan dapat memprediksi efek primer, jumlah tersebut tidak dapat
memprediksi efek kekinian. Orang-orang biasanya bagus dalam mengingat kata-kata
di akhir daftar meskipun mereka tidak lebih sering mengulang huruf-huruf
tersebut dibandingkan huruf-huruf di tengah daftar. Efek kekinian sering
dijelaskan oleh pendapat yang menyatakan bahwa kata-kata di akhir daftar masih
terdapat dalam STM ketika seseorang mulai mengingat. Mahasiswa dalam eksperimen
Rundus mengingat kata-kata tersebut segera setelah item terakhir disajikan;
sehingga masuk akal untuk berasumsi bahwa kata-kata yang baru saja mereka lihat
masih ada di STM.
Kita
belajar dari eksperimen Peterson dan Peterson yang sudah kita diskusikan di Bab
4 bahwa informasi hilang dengan cepat dari STM jika orang harus melaksanakan
tugas lainnya. Jika efek kekinian disebabkan oleh pemanggilan kembali sebagian
besar item yang saat ini ada di STM, seharusnya efek tersebut hilang jika
seseorang harus melakukan tugas lain sebelum mengingat item tersebut. Subjek
dalam eksperimen yang didesain oleh Postman dan Phillips (1965) harus melakukan
tugas aritmetika selama 30 detik sebelum mereka mencoba mengingat daftar kata.
Tugas aritmetika berhasil menghilangkan efek kekinian yang berarti hal ini
secara tidak langsung menunjukkan bahwa kata-kata di akhir daftar sudah aus
dari STM.
Bukti
lain yang mendukung pendapat bahwa efek primer disebabkan oleh pemanggilan
kembali informasi dari LTM dan efek kekinian disebabkan oleh pemanggilan
kembali informasi dari STM datang dari pasien yang menderita amnesia.
Orang-orang ini memiliki kesulitan dalam memanggil kembali informasi dari LTM, namun sering kali
memiliki STM yang normal ketika diukur dengan tes rentang memori tipikal yang
sudah kita diskusikan pada bab sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa mereka
seharusnya jauh lebih buruk dalam mengingat kata-kata awal dalam daftar
dibandingkan subjek kontorl, dan sama baiknya dengan subjek kontrol dalam
mengingat kata-kata yang baru dalam daftar. Kenyataannya, hassil ini memang
benar-benar diperoleh (Baddeley & Warrington, 1970).
Hal
yang adil jika kita coba melihat penjelasan lain mengenai efek kekinian yang
direviri oleh Greene (1986). Salah satu penjelasannya adalah adalah bahwa efek
kekinian terjadi karena posisi di akhir daftar lebih berbeda dibandingkan
kata-kata yang ada di tengah daftar. Pada bab berikutnya, kita akan melihhat
bahwa item-item yang unik lebih mudah diingat. Namun, sekarang saya lebih suka kembali
ke topik mengenai bagaimana orang dapat menggunakan strategi kontrol untuk mempelajari
informasi baru.
Proses
Kontrol
Sebagaimana
diindikasikan dalam “Berita 5.1”, mahasiswa yang telah mempelajari keterampilan
belajar secara efektif dapat mengerjakan ujian dengan lebih baik daripada
mahasiswa yang tidak mempelajari keterampilan tersebut. Keterampilan belajar
secara efektif meliputi mempelajari
strategi-strategi (proses kontrol) mengenai bagaimana menggunakan memori untuk
mempelajari informasi.
Pada
bab sebelumnya, kita sudah membahas sebuah proses kontrol khusus—pengulangan
verbal—namun strategi tersebut hanyalah salah satu jenis strategi yang kita
gunakan untuk memperoleh dan memanggil informasi. Figur 5.3 menunjukkan contoh
lain proses kontrol yang kita gunakan untuk mempelajari suatu materi (Nelson
& Narens, 1990).
Bayangkan
Anda harus mempelajari terjemahan bahasa Inggris dari suatu daftar kata-kata bahasa
Jerman. Pertama, Anda perlu memutuskan jenis proses apa yang akan digunakan. Apakah
Anda akan menggunakan pengulangan, pengodean atau membuat gambar? Jika Anda
dapat memikirkan cara-cara agar materi tersebut lebih bermakna (pengodean) atau
dapat dengan mudah menghasilkan gambaran visual (membuat gambaran), Anda munkin
ingin menggunakan strategi elaborasi tersebut dibandingkan dengan menggunakan
strategi pengulangan verbal, Anda perlu memutuskan bagaimana mengalokasikan
waktu
Pembelajaran
di antara item-item tersebut (Nelson, Dunlosky, Graf, & Narens, 1994). Anda
munkin akan memerlukan lebih banyak waktu untuk mempelajari terjemahan der Gipfel daripada mempelajari terjemahan
die Kamera. Ketiga, Anda perlu
memutuskan bagaimana mempertahankan informasi yang Anda pelajari. Peninjauan
kembali secara berkala seharusnya dapat meminimalkan lupa. Terakhir, Anda perlu
memikirkan strategi pemanggilan kembali yang dapat membantu ketika Anda mengalami
kesulitan dalam mengingat terjemahan yang tepat.
Sebagaimana
diindikasikan pada Figur 5.3, proses-proses kontrol ini dihubungkan dengan tiga
aspek pembelajaran: perolehan, penyimpanan, dan pemanggilan kembali informasi.
Strategi seperti memilih teknik pemprosesan yang bagus dan mengalokasikan waktu
belajar berkaitan dengan perolehan
pengetahuan (knowledge acquisition)—menempatkan
informasi ke dalam LTM. Strategi
pemanggilan kembali informmasi (retrieval
strategy) meliputi mengeluarkan informasi dari LTM dengan cara mencari
jawaban. Sebagaimana kita lihat di Figur 5.3, sebagian penelitian mengenai
strategi kontrol berfokus pada peolehan dan penyimpanan informasi. Pada bagian
selanjutnya, kita akan membahass pengetahuan mahasiswa mengenai strategi yang
berkaitan dengan perolehan, penyimpanan, dan pemanggilan kembali informasi.
Perolehan
Informasi
Merupakan
strategi perolehan yang bagus bergantung pada kemampuan untuk menilai seberapa
baik kita mempelajari materi tersebut. Misalnya, menentukan proses mana yang
paling efektif menuntut kita untuk mengetahui bahwa kita dapat mempelajari
lebih banyak dengan strategi tertentu dibandingkan dengan menggunakan strategi
lainnya. Kita telah melihat bahwa Atkinson Shiffrin memasukkan tiga strategi
perolehan informasi dalam model mereka—pengulangan, pengodean dan membuat
gambaran. Mereka memilih untuk meneliti pengulangan, namun apakah strategi
pengulangan merupakan strategi yang paling efektif? Seperti yang akan
ditunjukkan di dua bab berikutnya, strategi elaborasi seperti pengodean dan
membuat gambaran merupakan strategi yang secara khas lebih berhasil dari pada
pengulangan.
Dapatkah
orang-orang yang tidak tahu mengenai penelitian ini memilih sebuah strategi
perolehan informasi yang bagus dengan menggunakan kemampuan mereka untuk
menilai bahwa suatu strategi lebih efekfif dibandingkan strategi yang lainnya?
Satu hambatan potensi adalah bahwa keputusan mengenai pembelajaran sering kali
tidak akurat jika keputusan tersebut dibuat segera setelah mempelajari suatu
item karena pembelajaran tersebut munkin saja hanya bersifat sementara. Munkin
kita sangat pernah percaya diri bahwa kita telah mempelajari beberapa materi
segera setelah kita menelaahnya, namun kemudian ternyata kemudian kita tidak
dapat mengingat lagi materi tersebut (Atkinson, 1972a, 1972b). Karena alasan
inilah, kita lebih baik menunda keputusan memilih pembelajaran hingga kita
lebih yakin akan kepastian bahwa pembelajaran kita akan bersifat permanen.
Poin-poin
tersebut diilustrasikan dengan baik dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Dunlosky dan Nelson (1994). Mereka mendesain sebuah tugas asosiasi tersebut
dipelajari oleh mahasiswa dengan menggunakan strategi pengulangan dan
setengahnya lagi dengan menggunakan strategi imagery. Strategi imagery ternyata jauh lebih efektif—strategi ini
menghasilkan 59 persen jawaban yang benar dibandingkan dengan strategi
pengulangan yang hanya menghasilkan 25 persen jawaban benar. Mahasiswa lebih
akurat dalam menilai perbedaan efektivitas dari kedua strategi tersebut ketika mereka
menunda penilaian (setidaknya 30 detik kemudian) daripada ketika membuat
penilain segera setelah mempelajari setiap item.
Penilaian
pembelajaran yang akurat berguna tidak hanya untuk membantu kita memilih
strategi perolehan informasi yang efektif, namun juga berguna untuk membantu
kita menentukan item mana yang perlu lebih banyak dipelajari agar dapat diingat
di waktu kemudian. Dunlosky dan Nelson menemukan bahwa penundaan penilaian juga
membantu mahassiswa mengidentifikasi item individual mana yang sudah mereka
pelajari. Masalah yang timbul akibat membuat penilaian segera setelah
mempelajari item adalah bahwa item-item tersebut masih berada dalam STM,
sehuingga sulit membuat prediksi seberapa mudah item tersebut akan dipanggil
kembali di waktu kemudian.
Mari
kita kembali ke efek positif serial sebagai contoh bagaimana kemampuan kita
untuk memanggil kembali informasi dengan mudah segera setelah kita mempelajari
informasi tersebut. Hal ini dapat menjadi indikator lemahnya kemampuan kita
untuk mengingat suatu daftar kata, mereka secara khas mengingat lebih dahulu
kata-kata yang ada di akhir daftar. Kata-kata ini juga akan mudah diingat di
waktu kemudian (Benjamin & Bjork,1996).
Figur 5.4 menunjukkan bagaimana efek posisi serial
menentukan pemanggilan kembali yang benar, baik untuk pengingatan yang
dilakukan segera maupun tertunda (Benjamin & Bjork, 1996; Craik, 1970).
Kekuatan efek kekinian untuk pengingatan yang dilakukan segera menjadi efek
kekinian yang negatif (menurunkan
ingatan terhadap kata-kata di akhir daftar) ketika melakukan pengingatan yang
tertunda. Ingatan terhadap kata-kata STM membantu pengingatan yang dilakukan
segera, namun justru menurunkan peringatan tertunda ketika dibutuhkan
ketergantungan terhadap LTM. Benjamin dan Bjork (1996) menggunakan data ini
untuk mengilustrasikan bagaimana kelancaran
pemanggilan kembali (retrieval
fluency) dapat menjadi indikator buruk untuk item mana yang sebaliknya
dipelajari. Kelancaran pemanggilan kembali—kemudahan mengingat item—gagal
memprediksi pembelajaran karena item-item yang mudah dipanggil selama
pengingatan segera justru sulit dipanggil kembali selama pengingatan tetunda.
Aspek
lain dari perolehan informasi yang ditunjukkan pada Figur 5.3 adalah alokasi
waktu belajar. Mengingat contoh mempelajari kata-kata bahasa Jerman mengacu
pada bagian permulaan tulisan ini. Jika anda sedang mendengarkan rekaman yang
menyajikan kata-kata dalam urutan yang sudah ditentukan sebelumnya, maka anda
tidak dapat memilih kata mana yang akan Anda pelajari. Namun, jika Anda punya
pilihan, anda akan lebih suka menghasilkan lebih banyak waktu untuk mempelajari
kata-kata yang menurut Anda pelajari.
Sebuah
strategi yang khas yang berguna bagi mahasiswa adalah mengalokasikan lebih
banyak waktu belajar untuk mempelajari item-item yang sulit. Terdapat banyak
bukti bahwa pada faktanya, mahasiswa memang perlu menghabiskan lebih banyak
waktu untuk mempelajari item yang sulit, kecuali mahasiswa yang lebih muda
seperti mahasiswa tahun pertama (Son & Metcalfe, 2000). Akan tetapi,
penelitian ini memberikan mahasiswa cukup banyak waktu untuk belajar. Bayangkan
Anda berada dibelakang bacaan Anda dan harus bersiap menghadapi ujian, namun
Anda tidak punya banyak untuk mempelajari semua materi ujian. Apa strategi
terbaik yang dapat digunakan dalam kasus ini? Son dan Metcalfe (2000) menemukan
bahwa ketika berada di bawah tekanan waktu yang tinggi, orang menghabiskan lebih
banyak waktu yang lebih rendah, mereka terfokus pada item-item yang dinilai
sulit.
Penyimpanan Informasi
Kerangka
kerja yang dapat membantu untuk memikirkan mengenai penilaian pembelajaran
adalah untuk membedakan antara begaimana dan pemahaman teoretis kita
mempengaruhi penilaian ini (Koriat, Bjork, Sheffer, & Bar, 2004). Penilaian
yang didasarkan pada kelancaran pemanggilan kembali informasi diperngaruhi oleh
pengalaman kita. Jika kita menguji diri kita dan dapat memanggil kembali jawabannya dengan mudah, kita percaya di
waktu kemudian kita akan dengan mudah memanggil kembali jawabannya.
Sebaliknya,
penilaian yang didasarkan pada teori bergantung pada pemahaman kita mengenai
bagaimana variabel yang berbeda mempengaruhi pembelajaran dan penyimpanan
informasi. Mahasiswa-mahasiswa dalam penelitian Son dan Metcalf (2002)
menyadari bahwa mereka akan butuh banyak waktu untuk mempelajari lebih banyak
item yang sulit, dan jika mereka hanya punya sedikit waktu, maka akan lebih
baik untuk terfokus pada item-item yang mudah. Akan tetapi, mahasiswa dalam
Eksperimen Dunlosky dan Nelson (1994) tidak tahu bahwa strategi imagery lebih
baik daripada strategi pengulangan. Oleh karena itu, mereka lebih akurat dalam
membuat penilaian tertunda dalam pembelajaran ketika pengalaman mereka menjadi
prediktor yang lebih akurat dalam pembelajaran.
Perbedaan
antara penilaian yang pada pengalaman dan penilaian yang didasarkan pada teori
memunculkan isu apakah mahasiswa mengetahui bagaimana interval penyimpanan
informasi memengaruhi pengingatan. Bayangkan Anda mempunyai dua jadwal ujian
akhir pada rabu siang. Anda belajar untuk satu ujian pada selasa dan untuk
ujian yang lain, Anda belajar Rabu pagi. Apakah Anda akan menghabiskan lebih
banyak waktu untuk banyak pada selasa karena interval penyimpanan yang lebih
lama?
Koriat
dan koleganya mendesain serangkaian eksperimen untuk meneliti apakah interval
penyimpanan akan mempengaruhi penilaian pembelajaran. Mahasiswa mempelajari
daftar 60 asosiasi berpasangan dan kemudian melakukan tes sesegera munkin,
sehari setelahnya, atau atau satu minggu kemudian. Pada akhir sesi
pembelajaran, mereka ditanyai mengenai seberapa banyak kata-kata yang dapat:
(1) diingat, (2) diingat keesokan harinya, atau (3) diingat satu minggu
kemudian, tergantung pada apakah tes mengingat mereka dilakukan segera, satu
hari kemudian, atau satu minggu kemudian. Figur 5.5 menunjukkan bahwa
partisipan dalam setiap kelompok, pada
tarap rata-rata, memperkirakan bahwa mereka dapat mengingat sekitar 40 persen
dari keseluruhan kata-kata. Penemuan ini konsisten dengan penjelasan
Kelancaran
pemanggilan kembali ketika mahasiswa menggunakan pengalamannya saat ini untuk
membuat penilaian tanpa mempertimbangkan seberapa lama mereka akan mengingat
materi tersebut. Sejalan dengan harapan eksperimenter, interval penyimpanan
informasi memengaruhi ingatan sebagaimana ditunjukkkan oleh prestasi tiga
kelompok untuk setiap tiga interval penyimpanan informasi (Figur 5.5).
Sebuah
alasan yang munkin mengapa mahasiswa tidak menganggap bahwa lupa dapat terjadi
sepanjang waktu adalah karena masing-masing kelompok hanya ditanyai mengenai
satu interval penyimapanan khusus. Desain eksperimen 2 mencoba untuk
mendapatkan prediksi berbasis teori
dengan meminta sebuah kelompok partisipan baru untuk membuat perdiksi mengenai
hasil yang diperoleh dalam eksperimen 1.setelah menerima sebuah gambaran detail
mengenai metodologi eksperimen 1, para mahasiswa ini diminta memprediksi berapa
banyak rata-rata kata yang dapat diingat oleh setiap kelompok setelah (1) 10
menit, (2) 1 hari, dan (3) 1 minggu. Perkiraan ini sangat akurat, sebagaimana
ditunjukkan oleh Figur 5.5. Para mahasiswa menyadari bahwa lupa dapat terjadi
sepanjang waktu, sehingga memperkirakan lebih sedikit pengingatan sejalan
dengan peningkatan interval penyimpanan informasi. Perkiraan mereka tidak
didasarkan pada pengalaman mereka karena mereka tidak harus mempelajari
kata-kata.
Keuntungan
mengambil kuliah psikologi kognitif adalah Anda akan mampu membuat prediksi
yang lebih didasarkan pada teori. Tidak seperti mahasiswa dalam eksperimen Dunlosky dan Nelson (1994),
Anda akan mampu memprediksi bahwa Anda akan mengingat dengan lebih baik jika
Anda menggunakan strategi imagery daripada jika Anda menggunakan strategi
pengulangan. Anda seharusnya juga dapat menggunakan STM untuk pengingatan
segera kata-kata di akhir daftar, namun menyadari bahwa kata-kata ini akan
membutuhkan lebih banyak pembelajaran untuk pengingatan tertunda ketika Anda
hanya bergantung pada LTM.
Pemanggilan
Kembali I nformasi
Aspek ketiga pembelajaran yang ditunjukkan oleh
Figur 5.3 adalah pemanggilan kembali informasi. Memperbarui informasi dari LTM
bergantung pada mendapatkan kembali informasi tersebut melalui penggunaan
strategi pemanggilan kembali informasi yang efektif. |ika ditanyai pertanyaan
yang sulit, Anda awalnya harus memutuskan apakah Anda memiliki informasi yang
relevan dalam memori. Glucksberg dan McCloskey (1981) menyatakan bahwa orang
pertama-tama melakukan pencarian memori pendahuluan untuk memutuskan apakah
mereka sudah menyrmpan setiap informasi yang relevan dengan pertanyaan
tersebut. Sebagian besar orang tidak menemukan informasi apa pun yang relevan
jika ditanyai, “Apakah Presiden Clinton menggunakan sikat gigi listrik?"
sehingga mereka dapat merespons dengan cepat bahwa mereka tidak tahu. Akan
tetapi, jika fakta-faka yang berpotensi relevan tersebut dipanggil kembali (seperti
yang terjadi pada pertanyaan 'Apakah Kiev ada di Ukraina?"), seseorang
kemudian akan mencari LTM untuk menegaskan atau menyangkal bukti.
Setelah memutuskan bahwa mencari dalam LTM adalah
bermanfaat, Anda harus memutuskan bagaimana melakukan pencarian tersebut.
Atkinson dan Shiffrin (1963) menyatakan bahwa orang mengembangkan
rencana-rencana untuk mencari dalam LTM. Misalnya, jika diminta untuk mengingat
nama semua 50 negara bagian, Anda dapat mengorganisasi pencarian Anda dengan
cara mengurutkan sesuai alfabet atau sesuai lokasi geografis.
Mengingat informasi dari LTM kadang kala terjadi
begitu cepat, sehingga para psikolog hanya punya sedikit kesempatan untuk
mempelajari bagaimana orang memanggil kembali informasi. Akan tetapi,
pemanggilan kembali informasi kadang-kadang sukses hanya setelah dilakukan
pencarian yang lambat dalam ITM seperti yang terjadi pada fenomena tip of the tongue
(TOT). Sebuah kata berada di ujung lidah Anda ketika Anda tahu kata tersebut tersimpan
dalam LTM, tetapi Anda terhambat untuk memanggil kembali kata tersebut untuk sementara.
Keberhasilan pemanggilan kembali sering kali dibantu dengan menggunakan sebagian
informasi, seperti panjang kata atau huruf pertama suatu kata, untuk membatasi pencarian
dalam tTM (R. Brown & McNeill, 1966).
Ada dua metode eksperimental umum untuk mempelajari
kondisi TOT. Pertama, pendekatan laboratorium (laboratory approach)
mengharuskan untuk membawa orang ke laboratorium dan meminta mereka untuk
mengingat kata-kata yang dapat menyebabkan kondisi TOT. Kedua, pendekatan
dengan menggunakan buku harian (diary approach) menuntut subjek untuk mencatat
apayang terjadi ketika mereka dihadapkan pada hambatan memori dalam kehidupan
mereka sehari-hari.
Penelitian laboratorium pertama kali dilakukan
secara sistematis oleh R. Brown dan D. McNeill (1966) yang memberi defenisi
kata-kata langkah dan meminta subjek untuk mencoba mengingat kata-kata
tersebut. Misalnya, “Apa nama alat yang menggunakan posisi matahari dan bintang
untuk menavigasi?" Beberapa kata menghasilkan
kondisi TOT yaitu orang tidak mampu memikirkan seketika kata tersebut, namun
yakin bahwa mereka akan dapat mengingatnya segera. Keberhasilan pengingatan
sering kali dibantu dengan menggunakan sebagian informasi yang berkaitan dengan
pengucapan kata tersebut, seperti panjang kata dan hurufawal kata tersebut.
Ketika berusaha untuk menjawab pertanyaan sebelumnya, orang mungkin mengingat bahwa
kata tersebut diawali huruf S dan mempunyai dua suku kata (sextant).
Penelitian lain menemukan hasil yang sama dengan
menggunakan gambar-gambar dan deskripsi verbal mengenai artis (Read &
Bruce, 1982). Sebagai contoh, deskripsi verbal mengenai Ray Bolger adalah
"Di Broadway, ia memerankan Charley dalam Charley’ Aunt, tetapi ia lebih
diingat saat berperan sebagai orang-orangan untuk menakuti burung (scarecrow) dalam
film Judy Garland, The Wizard of Ozi Strategi yang paling banyak digunakan untuk
mengingat nama adalah dengan cara menggunakan sebagian informasi, sebagaimana dilaporkan
di awal oleh Brown dan McNeill (1966). Sebagian informasi meliputi informasi mengenai
panjang sebuah nama atau huruf-huruf atau suara dalam sebuah nama.
Dua strategi lain yang populer adalah membangkitkan
nama yang masuk akal dan menggunakan informasi kontekstual. Pembangkitan nama
yang masuk akal sering dibimbing oleh sebagian informasi agar membatasi
pencarian dalam LTM. Informasi kontekstual adalah informasi yang diasosiasikan
dengan seseorang, seperti peran film dan televisi atau asal suku bangsa. Sangat
jarcng subjek melaporkan bahwa mereka secara spontan mengingat nama tersebut
tanpa memikirkan orang yang menjadi target. Oleh karena itu, keberhasilan pemanggilan
kembali biasanya terjadi sebagai hasil pencarian memori yang terencana. Dalam
penelitian naturalistis (naturalistic studies) mengenai TOT, subjek membawa buku
harian untuk mendokumentasikan kondisi TOT ketika hal tersebut terjadi. Mereka diminta
untuk mencatat informasi apa yang dapat mereka panggil kembali ketika mereka mencari
kata tersebut dan bagaimana hambatan memori diatasi. Sebuah tinjauan mengenai teks
ini (A. S. Brown, 1991) melaporkan sejumlah penemuan yang konsisten. Sebagai
contoh:
1.
TOT dilaporkan terjadi dalam kehidupan
sehari-hari sekitar seminggu sekali dan meningkat sejalan dengan meningkatnya
usia. Sebagian besar dipicu oleh nama-nama kenalan pribadi.
2.
Kata-kata yang berkaitan, baik dengan
makna maupun dengan pengucapan kata target sama-sama dapat diingat, namun masih
lebih dominan pengucapan. Orang dapat menebak huruf pertama sekitar 50 persen
dari keseluruhan kejadian.
3.
Hampir separuh kondisi TOT dapat
teratasi dalam waktu 1 menit.
Penemuan bahwa strategi pengingatan kembali
informasi yang dominan meliputi pengingatan sebagian informasi pengucapan
konsisten dengan hasil, baik penelitian laboratorium maupun naturalistis.
Namun, ada juga beberapa perbedaan dalam penemuan tersebut. Tip of tongue yang terjadi secara alami
menghasilkan pemanggilan kembali
informasi secara spontan (spontaneous retrieval) dalam jumlah sedang
(berkisar antara 17 hingga 41 persen) ketika tiba-tiba kata-kata "meletup
dalam pikiran'tanpa ada usaha sadar untuk memanggilnya kembali. Sebaliknya,
pemanggilan kembali secara spontan jarang terjadi (5 persen atau kurang) dalam
penelitian laboratorium. Pemanggilan kembali informasi secara spontan lebih
banyak terjadi dalam penelitian alamiah. Hal ini masuk akal karena
pemanggilan kembali kata tanpa sengaja, secara umum,
biasanya terjadi ketika seseorang terlibat dalam aktivitas yang relatif
otomatis, seperti mencuci atau membersihkan perabot rumah (Kvavilashvili &
Mandler,2003). Dalam penelitian eksperimental mengenai efek TOT, partisipan
disibukkan untuk mencari kata-kata khusus, sehingga hanya ada sedikit kesempatan
terjadinya pemanggilan kembali informasi secara spontan.
Brown (1991) menyimpulkan tinjauannya mengenai
kepustakaan TOT dengan memunculkan beberapa pertanyaan yang belum terjawab.
Misalnya, apakah memanggil kembali kata-kata yang berkaitan menyebabkan kita
akhirnya dapat mengingat kata target, ataukah justru hal tersebut menciptakan
halangan terhadap kata target? Penelitian selanjutnya
mengindikasikan bahwa menggunakan kata-kata yang
memiliki komponen fonologi yang sama dengan kata target dapat membantu kita
mengingat kata target (James & Burke, 2000). "Berita 5.2" dapat
menjelaskan hal ini secara mendetail.
Meningkatkan
lngatan dan ldentifikasi saksi
Saya telah mencoba menggabungkan aspek teoretis dan
aplikasi memori di bab ini. Tema tersebut berlanjut di bab ini dalam penjelasan
mengenai kontribusi penelitian psikologis untuk meningkatkan ingatan dan
identifikasi saksi mata. Dampak dari penelitian ini jelas diindikasikan dari
survei yang dipublikasikan di American Psychologist (Kassin, Tubb, Hosch, &
Memon, 2001). Dalam survei tersebut, 64 psikolog ditanyai mengenai pengalaman
mereka di pengadilan dan opini mereka mengenai 30 topik saksi mata. Pertanyaan
yang ditanyakan pada mereka, yaitu apakah mereka ( 1) berpikir bahwa
bukti-bukti yang ada cukup dapat diandalkan bagi psikolog untuk memberikan
testimoni, (2) akan bersedia untuk memberikan kesaksian dalam pengadilan
mengenai topik ini, (3) mendasarkan opini mereka pada penelitian publik, dan
(4) berpikir para juri percayabahwa pernyataan ini benar karena masuk akal.
Tabel 5.1 menunjukkan respons mereka terhadap tujuh
topik tersebut. Hasilnya menunjukkan adanya rentang yang besar dalam persepsi
terhadap reliabilitas penemuan. Hampir setiap orang percayabahwa mengajukan
pertanyaan dapat memengaruhi kesaksian saksi mata, namun hanya22 persen ahli
percaya bahwa pengalaman traumatis dapat ditekan bertahun-tahun dan kemudian
dapat dipulihkan. Jelas pula bahwa penemuan penelitian ini sering kali tidak
mendukung persepsi terhadap rasional. Misalnya, para ahli berpikir sebagian
besarjuri berharap ketepatan tersebut terkait dengan tingkat kepercayaan saksi
mata meskipun penelitian telah menunjukkan bahwatingkatkepercayaan bukanlah
prediktor yang baik untuk ketepatan. Bagian berikut menyajikan beberapa detail
penelitian ini. Meningkatkan Ingatan Saksi Mata Salah satu pertanyaan yang muncul
di Tabel 5.1 adalah apakah hipnosis membarrtu orang mengingat informasi dengan
akurat. Kurang dari setengah ahli percaya bahwa mendasarkan pada pengetahuan
penelitian mereka adalah hal yang berguna. Meskipun sudah banyak kasus yang
menyatakan hipnosis membantu para saksi untuk mengingat detail tambahan mengenai
kejahatan, masalahnya adalah berhubungan dengan kegunaannya (M. E. Smith, 1983).
Perhatian utamanya adalah bahwa dorongan oleh ahli hipnosis dapat membujuk
saksi untuk melaporkan kesaksiannya dengan akurat. Sebagai contoh, pada salah
satu penelitian menunjukkan 90 persen salsiyang terhipnosis mencoba
untukmengingat angka pada kemeja dalam simulasi peristiwa kejahatan
dibandingkan dengan kelompok kontrol yang hanya 20 persen dari subjek yang dapat
mengingatnya (Buckhout, Eugenio, Licitra, Oliver, & Kramer, 1981). Tidak
ada satu pun saksi yang dapat mengingat angka dengan benar. Kemungkinan ingatan
saksi bisa jadi tidak akurat menyebabkan pengadilan menanyakan reliabilitas
ingatan selama dihipnosis.
Masalah lain dalam evaluasi efektivitas hipnosis
adalah bahwa keberhasilan mengingatm selama hipnosis mungkin tidak disebabkan
oleh hipnosis itu sendiri. M. E. Smith (1983) mengidentifikasi kemungkinan
penyebab lainnya, seperti pengujian terulang dan pembalikan konteks.
Sebagaimana diindikasikan oleh penemuan Read dan Bruce (1982), pengujian terulang
dapat menyebabkan ingatan tambahan. Oleh karena itu, ingatan yang lebih baik selama
hipnosis mungkin akibat dari faka bahwa para saksi mencoba ingatan kedua dan ketiga
yang mungkin akhirnya akan mengakibatkan saksi dapat mengingat lebih banyak detail
tanpa hipnosis. Atau, ingatan yang lebih baik dapat diakibatkan oleh beberapa
aspek dari prosedur seperti mendorong saksi untukmencoba mengembalikan lagi
konteks peristiwa kejahatan (Malpass & Devine, 1981).
Untuk menentukan apakah instruksi pemanggilan
kembali informasi kognitif sama efektifnya dengan hipnosis, Geiselman, Fisher,
MacKinnon, dan Holland (1985) meminta,
baik subjekyang dihipnotis maupun tidakdihipnotis untukmengingat informasi
mengenai simulasi peristiwa kejahatan. Subjek melihat sebuah film berdurasi
empat menit tentang peristiwa kejahatan, dan dua hari kemudian mereka
diwawancarai oleh anggota penegak hukum.
Subjek ditunjuksecara acakuntukmelakukan wawancara
dalam tigakondisi. Wawancara standar mengikuti prosedur pertanyaan yang biasa
diterapkan oleh penegak hukum, wawancara hipnosis melibatkan subjek yang
dihipnotis untuk mengungkapkan kembali apa yang mereka ingat dari film, dan wawancara kognitif (cognitive
interview) melibatkan penggunaan empat teknik pemanggilan kembali
informasi-memori yang dapat mendorong subjek untuk mengembalikan konteks
insiden, melaporkan segala sesuatunya, mengingat kejadian dalam urutan berbeda,
dan mengingat insiden dari perspektif berbeda.
Baik prosedur kognitif maupun hipnosis dapat
menghasilkan peningkatan ingatan terhadap item informasi secara signifikan
daripada prosedur wawancara standar. Para penyelidik menghubungkan penemuan ini
dengan teknik bimbingan-memori yang lazim untuk dua prosedur tersebut. Meskipun
wawancara kognitif tidak menghasilkan ingatan yang lebih baik dibandingkan
dengan penggunaan hipnosis, wawancara kognitif lebih mudah dipelajari dan lebih
mudah administrasinya.
Aplikasi dari prosedur wawancara kognitif pada
peristiwa kejahatan yang nyata juga memberikan hasil yang memberi harapan (R.
P. Fisher, Geiselman, & Amador, 1989). Tujuh detek tif yang berpengalaman
di Dade County, Florida, dilatih untuk menguasai prosedur ini. Sebelum dan
sesudah pelatihan, eksperimenter merekam wawancara dengan korban dan saksi.
Detektif tersebut berhasil memperoleh informasi 47 persen lebih banyak setelah
pelatihan. Pada banyak kasus, terdapat lebih dari satu korban atau saksi,
sehingga memungkinkan untuk menentukan apakah informasi yang diperoleh saling
konsisten antarorang yang diwawancarai. Tingkat konsistensi yang tinggi
menunjukkan bahwa informasi yang diperoleh memang akurat.
Hasil yang positif dari penelitian ini dan
penelitian yang lain mengenai prosedur wawancara menyebabkan US Departmentof
|ustice mengeluarkanpanduan nasional pertama untuk mengumpulkan bulti saksi
mata pada tahun 1999 (Technical Working Group for Eyewitness Evidence, 1999).
Para peneliti psikologi turut berpartisipasi dalam menulis panduan tersebut dan
kemudian menulis mengenai kolaborasi mereka dengan departemen tersebut (Wells,
Malpass, Linday, Fisher, Turtle, & Fulero, 2000). Analisis terhadap
wawancara polisi mengungkapkan bahwa ada sejumlah kesalahan yang sebenarnya
dapat dihindari yang meliputi (a) terlalu banyakbertanya dengan menggunakan
pertanyaan tertutup, (b) sering menginterupsi saksi, dan (c) bertanya dengan
urutan pertanyaan yang sudah ditentukan sebelumnya dan tidak fleksibel.
Sebaliknya, prosedur baru yang direkomendasikan menyarankan wawancara dilakukan
dengan langkah yang pelan dan sedikit bertanya, serta menggunakan pertanyaan terbuka.
Direkomendasikan juga untuk menggunakan teknik pemanggilan kembali memori yang
sudah disebutkan sebelumnya, seperti mengembalikan konteks dan mengingat
kejadian dengan menggunakan jalur pemanggilan kembali informasi yang berbeda.
Identifikasi
Saksi Mata
Alasan utama dibuatnya panduan nasional pengumpulan
kesaksian saksi mata adalah adanya buki baru DNAyangpada beberapa kasus
memperlihatkan bahwa orangyang tidakbersalah telah dijadikan tersangka.
Tinjauan kembali terhadap kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa identifikasi
saksi mata yang salah menjadi bukti utama pada 36 dari 40 tersangka (Wells,
Malpas, Lindsay, Fisher, Turtle, & Fulero,2000).
Sebagaimana diindikasikan pada Tabel 5. 1, salah
satu penemuan yang paling terpercaya menurut para ahli adalah bahwa foto wajah
orang yang diduga penjahat menyebabkan saksi mata mengidentifikasi seseorang
sebagai tersangka ketika kemudian melihat garis polisi. Salah satu masalah yang
muncul dalam memutuskan apakah kita mengenali seseorang atau sesuatu adalah
mengingat konteks ketika pertemuan sebelumnya terjadi (G. Mandlea 1980; Humphreys
& Bain, 1983). Mandler (1980) memberikan sebuah contoh seseorang
yangmelihat seseorang yang wajahnya tidak asing di sebuah bus, namun tidak
yakin mengapa seseorang tersebut tampak tidak asing baginya. Pengenalan akan
sempurna hanya jika orang tersebut dapat mengingat konteks yang sesuai tempat
ia melihat orang tersebut sebelumnya, yaitu di supermarket tempat kerja
seseorang tersebut.
Identifikasi saksi mata merupakan situasi ketika
mengingat konteks sebuah informasi merupakan hal yang sangat penting.
Identifikasi yang akurat tidak hanya bergantung pada kemampuan untuk mengenali
sebuah wajah seseorang, namun juga pada kemampuan mengingat bahwa seseorang
tersebut terlihat sedang melakukan kejahatan, bukan terlihat foto wajah orang
yang diduga penjahat di koran, televisi, atau di kantor polisi. Kemungkinan bahwa
salsi mata mampu mengenali sebuah wajah tanpa dapat mengingat dengan benar konteks
kejadiannya terjadi di Pengadilan Tinggi Amerika Serikat pada kasus Simmons versus Amerika Serikat (390 U.S.
377,L968) (dikutip dari E. Brown, Deffenbacher, & Sturgill, 1977). Pengadilan
mencatat adanya potensi efek bias yang disebabkan saksi mata satu kali melihat foto
wajah orang yang diduga penjahat atau menunjukkan foto wajah orang yang diduga penjahat
yang menekankan pada salah satu tersangka. Berpegang pada efek bias tersebut dapat
mengakibatkan kekeliruan jika sa}si mata sebenarnya hanya melihat tersangka
secara sekilas atau melihat tersangka secara s.rmar-samar saja (Buckhout,
1974).
Brown, Deffenbacher, dan Sturgill (L977) meneliti
kemungkinan adanya efek bias yang dapat terjadi selama saksi mata melakukan
identifikasi. Dua orang pria disuruh mengikuti ujian tengah semester di sebuah
kelas; anggota kelas tersebut tidak diberi tahu bahwa mereka akan diminta untuk
mengidentifikasi dua orang tersebut. Foto wajah orang yang diduga penjahat
diperlihatkan pada anggota kelas tersebut 2 atau 3 hari setelah ujian dan
sekelompok orang yang dikumpulkan poksi (lineup) terjadi 4 atau 5 hari setelah
siswa melihat foto wajah orang yang diduga penjahat. Meryrajikan sebuah foto
wajah orang yang diduga penjahat menyebabkan orang yang berada pada sekelompok
orang yang dikumpulkan polisi tersebut cenderung diidentifikasi bahwa ia telah
mengikuti ujian.
Identifikasi yang salah terjadi karena orang yang
diidentifikasi terlihat sangat familier sebagai sebuah hasil bahwa wajah orang
tersebut berada di antara foto wajah orang yang diduga penjahat. Akan tetapi,
sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, keberhasilan mengenali sering kali
bergantung pada keberhasilan mengingat konteks khusus sebagai tambahan atas
penilaian terhadap ketidakasingan wajah tersebut bagi seseorang. Walaupun eksperimen
ini tidak berpura-pura meniru apa yang dihadapi saksi mata pada peristiwa kejahatan
yang sesungguhnya, mereka menyarankan agar diberikan perhatian besar pada materi
apa yang diperlihatkan pada saksi yang harus membuat keputusan akhir mengenai tersangka
kriminalitas.
Contoh lain mengenai kemungkinan terjadinya efek
bias pada sekelompok orang yang dikumpulkan polisi adalah adanya isyarat tidak
sengaja dari peneliti, seperti bahasa tubuh atau intonasi suara, dapat
menurunkan reliabilitas identifikasi saksi mata. Psikolog yang bertindak
sebagai penasihat dalam penulisan panduan nasional menduga kuat bahwa orang yang
mengatur sekelompok orang yang dikumpulkan polisi tidak menyadari orang rnana
di kelompoktersebut yang menjadi tersangka (Wells, Malpass, Lindsay, Fisher,
Turtle, & Fulero, 2000). Rekomendasi ini tidak dipakai, namun
diidentifikasi sebagai perubahan prosedural untuk penelitian di masa depan.
Tes
Memori Tidak langsung
Tes-tes tradisional, seperti pengenalan dan
mengingat, bukan satu-satunya cara untuk menilai memori seseorang. Lihat
sejenak pada fragmen kata pada Figur 5.5. Dapatkah Anda mengidentifikasi kata
tersebut? Orang biasanya lebih mampu mengidentifikasi fragmen kata yang sulit
jika fragmen tersebut sudah ditunjukkan sebelumnya pada daftar kata yang memuat
jawaban fragmen tersebut (seperti kata METAL pada contoh berikut). Fakta bahwa daftar
tersebut berguna menunjukkan bahwa orang memiliki memori beberapa kata di
daftar tersebut, mengindikasikan bahwa tugas ini dapat digunakan sebagai tes memori.
Anda mungkin merasa bahwa tes memori ini kurang
bersifat langsung dibandingkan tes mengingat dan mengenali yang sudah kita
diskusikan di bagian sebelumnya. Tes mengingat dan mengenali disebut sebagai tes memori langsung (direct memory
test) karcna tes-tes tersebut mengacu pada kejadian tertentu yang dialami
seseorang di masa lalu. Petunjuknya adalah meminta orang untuk mengingat atau
mengenali kejadian yang terjadi sebelumnya, sehingga tes ini mengukur memori eksplisit (explicit memory).
Sebaliknya, instruksi dalam tes memori
tidak langsung (indirect memory test) hanya mengacu pada tugas saat ini dan
tidak mengacu pada kejadian sebelumnya (Richardson-Klavehn & Bjork, 1988).
Orang melakukan tugas fragmen-kata hanya dengan mengidentifikasi kata, bukan
menilai apakah kata tersebut telah mereka lihat sebelumnya selama eksperimen.
Oleh karena itu, tes tidak langsung mengukur memori implisit (implicit memory)
Salah satu alasan kita membedakan antara dua tipe
tes ini adalah bahwa apa yang kita pelajari mengenai memori seseorang
bergantung pada bagaimana kita mengetesnya. Poin ini secara menarik
diilustrasikan dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Warrington dan
Weiskrantz (L970) di National Hospital di London. Mereka membandingkan pasien yang
menderita amnesia berat dengan pasien kontrol yang hampir sama dalam hal usia
dan inteligensi. Pembandingan meliputi empat tes memori untuk daftar kata. Tes
mengingat menuntut pengingatan verbal suatu kata. Tes pengenalan memori
menuntut keputusan ya atau tidak berkaitan dengan apakah sebuah kata ada di
daftar tersebut. Tes fragmen kata menuntut identifikasi suatu fragmen kata.
Kata yang benar muncul di daftar, dan fragmen tersebut sulit diidentifikasi
jika subjek belum melihat daftar kata tersebut sebelumnya. Tes huruf-awalberisi
tiga huruf pertama sebuah kata yang muncul di daftar, dan subjek harus
menyebutkan sebuah kata yang diawali dengan 3 huruf tersebut.
Subjek yang menderita amnesia secara signifikan
lebih buruk dibandingkan dengan kelompok kontrol, baik pada tes mengenali
maupun tes mengingat. Akan tetapi, tidakberbeda
dengan kelompok kontrol dalam tes fragmen-kata atau
tes huruf-awal. Mereka hampir sama dengan kelompok kontrol dalam keberhasilan
menggunakan kata-kata yang sudah mereka lihat dalam daftar kata. Sedikitnya
perbedaan kedua tes ini terjadi meskipun pasien amnesia sering kali tidak dapat
mengingat bahwa mereka sudah pernah melihat daftar kata dan melakukan tes tersebut
seperti permainan tebak-tebakan (Warrington & Weiskrantz,1968). Namun,
pengaruh daftar kata pada jawaban mereka mengindikasikan bahwa mereka masih
memiliki memori kata-kata dalam daftar tersebut.
Teori
Pemrosesan
Perbedaan performa antara tes memori langsung dan
tidak langsung telah mendorong banyak penelitian mengenai bagaimana kedua tes
tersebut berbeda (Tabel 5.2). Salah satu pendekatan teoretis menekankan pada
tuntutan Pemrosesan yang berbeda dari tes tersebut.
Sebuah contoh pendekatan ini (facoby & Dallas,
1981) membangun teori dua-proses mengenai memori
pengenalan (recognition memory)
G. Mandler (1930). Menurut teori ini, memori pengenalan menuntut, baik sebuah
penilaian terhadap kefamilieran maupun usaha untuk memanggil kembali konteks
ketika item terjadi. Jacoby dan Dallas menyatakan bahwa komponen kefamilieran
dari teori ini juga berlaku pada tes memori tidaklangsungyang secara khas
menuntut identifikasi secara persepsi. Pengalaman sebelumnya dengan materi
tersebut membuat materi tersebut lebih familier dan lebih mudah untuk melakukan
identifikasi dalam situasi yang sulit dipersepsi. Akan tetapi, dasar kedua
untuk memori pengenalan-pemanggilan kembali mengenai kapan dan di mana suatu
item terjadi-tidak perlu berhasil dalam tes tidak langsung karena tes seperti
ini tidak membutuhkan memori terhadap konteks khusus.
Rumusan ini secara tersirat menunjukkan bahwa
mengubah kefamilieran item-item tersebut dapat memengaruhi performa pada tes
pengenalan-memori dan tes identifikasipersepsi. Jacoby dan Dallas memanipulasi
pemahaman yang baik dengan menyajikan materi penelitian dalam metode yang sama
(presentasi visual) atau dalam suatu metode yang berbeda (presentasi auditori)
dengan materi tes. Seperti yang diprediksi, mengubah metode menyebabkan materi
tes kurang familier dan menyebabkan performa yang menurun pada tugas
pengenalan-memori dan tugas identifikasi-persepsi.
Sebaliknya, variabel yang membantu subjek menentukan
pada konteks apa mereka melihat suatu kata hanya meningkatkan performa pada
tugas pengenalan-memori. Prediksi ini diuji dengan memanipulasi apakah subjek
membaca suatu daftar (seperti METAL) atau menyelesaikan kata-kata tersebut dari
anagram (EMTLA). Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa lebih mudah
mengingat kata mana yang terdapat dalam suatu eksperimen jika subjek
menghasilkan kata tersebut dari anagram bukan hanya membaca kata tersebut. Seperti
yang diprediksi, menghasilkan kata-kata tersebut meningkatkan performa pada
tugas pengenalan-metrnori, namun tidak meningkatkan performa dalam tugas
identifikasi-persepsi yang tidak memerlukan memori terhadap konteks kata-kata
yang disajikan.
Penjelasan Jacoby dan Dallas merupakan contoh
bagaimana pengukuran memori secara langsung dan tidak langsung dapat
diperbandingkan berdasarkan proses apa yang
dibutuhkan untuk melakukan tugas tersebut. Elaborasi materi dengan
menghasilkan kata dari anagram membantu orang dalam tes mengingat dan
mengenali, sedangkan meningkatkan kefamilieran materi memengaruhi performa pada
tugas pengenalan-memori d.an tugas identifikasi-persepsi.
Rumusan yangl ebih umum daripendekatan ini mengklaim
bahwates memori langsung utamanya digerakkan secara konseptual, sedangkan tes
memori tidak langsung utamanya
digerakkan oleh data (Schacter, 1987;
Richardson-Klavehn & Bjork, 1988). Proses
yang digerakkan secara konseptual (conceptually driven processes)
mencerminkan aktivitas yang dimulai subjek, seperti mengelaborasi dan mengelola
informasi. Proses-proses seperti ini membantu orang dalam tes mengingat dan
pengenalan. Proses yang digerakkan data
(data-driven processes) dimulai dan diarahkan oleh informasi persepsi dalam
materi seperti kefamilierannya. Akan tetapi, pembedaan ini tidak terbatas satu
sama lain. Sebagaimana telah kita ketahui, tes pengenalan-memori dipengaruhi
oleh kedua jenis proses tersebut. Namun, proses yang digerakkan data lebih
banyakterdapat pada tes tidaklangsung daripada tes pengenalan-memori. Oleh
karena itu, perubahan metode menyebabkan gangguan yang lebih besar pada tes
tidak langsung seperti identifikasi fragmen kata dibandingkan pada tes langsung
seperti tes pengenalan memori (Schactea 1987).
Memori
Ganda
Argumentasi alternatif bahwa tes memori mengukur
proses yang berbeda adalah argumen bahwa tes memori mengukur memori yang
berbeda (Schacter, 1987). Pandangan ini mengklaim bahwa LTM bukanlah sistem
kesatuan tunggal, namun terdiri atas beberapa subsistem yang berbeda. Akan
tetapi, penting untuk mengenali bahwa argumen untuk memori yang berbeda tidak
otomatis menunjukkan bahwa argumen untuk proses yang berbeda adalah tidak
benar. |ustru seorang pendukung utama sistem memori yang berbeda berpendapat bahwa
dua pendekatan tersebut saling melengkapi (Ttrlving, 2002). Para teoretikus
dapat menjelaskan perbedaan performa dengan cara mengidentifikasi perbedaan
proses ataupun dengan mengidentifikasi perbedaan memori menurut pandangan ini.
Salah satu bagian utama LTM dalam subsistem yang
terpisah meliputi pembedaan antara memori episodik dan memori semantik
(Tulving,1972,1985,2002). Memori
episodik (episodic memory) mengandung memori pengalaman personal yang
tertanggal secara sementara. Memori ini menyajikan rekaman mengenai apayang
sudah dilakukan seseorang; seperti saya makan ayam saat makan malam tadi malam,
saya menerima gelar Ph.D., pada tahun 1970, dan saya melihat wajah orang
tertentu ketika melihat foto wajah orang yang diduga penjahat. Memori semantik (semantic memory)
mengandung pengetahuan umum yang tidak berhubungan dengan waktu dan konteks
tertentu. Misalnya, saya tahu bahwa kenari adalah seekor burung, Chicago ada di
lllinois, dan jumlah 7 ditambah 8 adalah 15. Oleh karena itu, memori episodik
lebih bersifat autobiografi; memori ini mengandung jenis informasi yang dapat saya catat dalam sebuah
buku harian yang detail. Informasi semantik lebih bersifat umum dan mengandung
jenis informasi yang dapat saya catat dalam sebuah ensiklopedia.
Menurut pembedaan ini, tes memori langsung yang
membutuhkan mengingat atau mengenali materi yang terjadi lebih dulu dalam eksperimen,
mengukur memori episodik. Subjek diminta untuk mengingat item (seperti suatu
daftar kata) dari suatu waktu dan tempat tertentu. Tes memori tidak langsung,
seperti identifikasi kata atau melengkapi kata, mengukur memori semantik.
Tes-tes ini hanya bergantung pada pengetahuan umum kita mengenai kata-kata dan
tidak menuntut kita menghubungkan kata-kata tersebut dengan waktu dan tempat
tertentu. Penemuan bahwa pasien penderita amnesia mengerjakan tes tidak
langsung dengan lebih baik daripada tes langsung telah digunakan sebagai bukti
untuk rnembedakan antara memori episodik dan memori semantik. Menurut pendapat
ini, amnesia dapat memengaruhi memori episodik, namun tidak memengaruhi memori
semantik. Akan tetapi, kritikus pembedaan memori episodik/semantik menyatakan
bahwa penjelasan ini kurang populer daripada kenyataan bahwa tes tidak langsung
berbeda dari tes langsung karena tes tidak langsung lebih. bergantung pada
memori prosedural (McKoon, Ratcliff, & Dell, 1986). Memori prosedural (procedural
memory) adalah memori untuk tindakan-tindakan, keterampilan, dan proses, sedangkan
memori episodik dan semantik berkaitan dengan informasi faktual. Informasi faktual
kelihatannya lebih rentan terhadap lupa dibandingkan dengan informasi
prosedural sebagaimana dibuktikan oleh pasien amnesia yang mengalami kesulitan
mengingat faktafakta, namun tidak mengalami kesulitan mempelajari dan
mempertahankan keterampilan motorik (Warrington & Weiskrantz, 1970).
Meskipun saya tidak dapat mengingat karena menderita
amnesia, saya masih dapat mengingat suatu kejadian ketika memori prosedural
saya lebih utuh daripada memori saya mengenai fakta-fakta. Saya belajar
mengetik di sekolah menengah atas dan masih mengetik saat kuliah, namun saya
bergantung penuh pada sekretaris saat saya jadi anggota fakultas. Ketika
kemudian saya memutuskan untuk mencoba program pemrosesan kata, saya memulai dengan
mencoba mengingat di mana keberadaan tombol-tombol di keyboard, namun saya malah
tidak dapat mengingat sebagian besar tombol-tombol tersebut. Akan tetapi,
ketika saya
mencoba untuk menggunakan keyboard,saya mengingat
bagaimana menggerakkan jari-jari saya dengan benar. Saya dapat mengingat
prosedur mengetik yang benar meskipun saya tidak mampu mengingat lokasi
tombol-tombol tersebut.
Kesimpulannya, baik teori proses maupun teori memori
ganda menawarkan usulan untuk menjelaskan bagaimana tes memori langsung berbeda
dari tes memori tidak langsung (Roediger, 1990). Tes langsung, seperti
mengingat dan pengenalan, digerakkan secara konseptual dan dipengaruhi oleh
strategi yang dimulai subjek seperti secara aktif menghasilkan item-item selama
fase penelitian. Sebaliknya, tes tidak langsung, seperti tes fragmen kata dan
tes huruf-awal, digerakkan oleh data. Tes-tes ini dipengaruhi oleh kefamilieran
materi, termasuk pengubahan metodenya. Tes-tes langsung mengukur memori episodik
ketika orang mengingat informasi kejadian khusus di masa lalu mereka. Tes tidak
langsung mengukur memori prosedural ketika orang tidak diinstruksikan untuk
mengacu kembali pada masa lalu.
Struktur
Otak
Performa yang menurun pada penderita amnesia dalam
tes memori langsung dan performa mereka yang relatif normal dalam tes memori
tidak langsung mendorong penelitian mengenai pembentukan memori secara
biologis. Apakah kerusakan pada bagian khusus otak menyebabkan menurunnya
performa pada pasien amnesia dalam tes-tes memori eksplisit, sedangkan daerah
otak yang lain bertanggung jawab terhadap performa dalam tes memori implisit?
Penelitian yang dilakukan oleh Larry Squire dan koleganya pada Veterans Affairs
Medical Center di San Diego mendukung gagasan bahwa memori bukanlah kesatuan
tunggal, namun terdiri atas beberapa kesatuan terpisah yang bergantung pada
sistem otak yang berbeda (Squire &Zola,1996).
Figur 5.7 menunjukkan sebuah taksonomi sistem dalam
LTM, bersama struktur khusus otak yang terlibat setiap sistem (squire &
knowlton,1994). Penelitian menunjukkan
bahwa performa buruk pasien amnesia pada tes memori
eksplisit disebabkan oleh kerusakan pada formasi hipokampus di lobus temporal
tengah. Sebaliknya, pasien amnesia memberikan performa normal pada mac:rm-macam
tes yang tidak melibatkan lobus temporal tengah. Sebagaimana ditunjukkan pada
Figur 5.7, tugas-tugas ini bergantung pada bermacam-macam sistem otak yang
tetap utuh pada amnesia.
Kita mulai bagian ini dengan membandingkan performa
buruk pasien amnesia pada tes mengingat dan tes pengenalan dengan performa
bagus mereka pada tes fragmen kata yang bergantung pada memori implisit
kata-kata (Warrington & Weiskr antz, 1970). Performa baik
pada tes fragmen kata adalah sebuah contoh priming.
Priming mengacu pada pemudahan kemampuan untuk mendeteksi atau mengidentifikasi
stimulus dengan menggunakan informasi sebelumnya. Sebagaimana dituniukkan pada
Figur 5.7, ini adalah salah satu tipe memori implisit.
Tipe lain memori implisit adalah keterampilan dan
prosedur yang dipelajari. Kita telah mengetahui bahwa teori memori ganda
mengklaim bahwa tes tidak langsung mengukur memori prosedural, serta taksonomi
Squire dan Knowlton ( 1994) konsisten dengan klaim ini. Sebuah contoh
keterampilan yang bergantung pada memori prosedural adalah peningkatan kecepatan
membaca yang terjadi ketika membaca kembali halaman yang sama. Musen, Shimamura,
dan Squire (1990) meneliti peningkatan kecepatan membaca, baik pasien penderita
amnesia maupun mereka yang tidak menderita amnesia dan menemukan bahwa pasien
amnesia meningkat kecepatannya sama halnya dengan orang yang tidak menderita amnesia
ketika membaca kembali halaman tersebut. Akan tetapi, pasien amnesia sangat mencolok
kelemahannya dalam menjawab pertanyaan pilihan ganda mengenai isi halaman bacaan
tersebut. Sekali lagi, tidak ada perbedaan antara kelompok dalam tes memori
tidak langsung (keterampilan membaca yang meningkat), namun terdapat perbedaan
besar dalam tes memori langsung (pilihan ganda).
Tipe lain dari memori implisit adalah pengondisian
klasik sederhana dan pembelajaran refl eks. Macam-macam tipe memori implisit
ini menggambarkan bermacam cara pengalaman kita dapat mengubah performa kita
tanpa mengubah isi memori sadar (Squire & Zola, I997).Performa berubah
karena adanya pengalaman, sehingga memori dilibatkan, narnun perubahan ini
terjadi tanpa disertai pengertian bahwa memori sedang digunakan. Tentu saja, hal
ini sangat berbeda dari tes memori langsung di mana kita sangat sadar bahwa
memori kita sedang dievaluasi.